Langsung ke konten utama

Bagaimana Dengan Homoseksualitas??


         Pada dasarnya manusia [laki-laki dan perempuan] diciptakan dengan keindahan dalam keserupaan dengan gambar dan rupa Allah. Keadaan ini kemudian menjadi kabur, setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa. Ajaran Kristiani tentang kerusakan total akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa, menyatakan bahwa tidak ada satu bagian pun dari keberadaan kita yang tidak tercemar dan terjungkir balik oleh dosa, termasuk urusan seksualitas kita. Itu artinya bahwa kita juga termasuk pendosa seksual. Dulu sebelum kejatuhan dalam hal seksual, manusia tertarik hanya pada lawan jenisnya saja, sekarang setelah kejatuhan, dalam diri manusia terjadi penyimpangan orientasi seksual, dimana ada ditemukan kasus “saling suka sesama jenis” (homoseksual).
            Fenomena ini telah menjadi masalah yang amat serius di tengah-tengah masyarakat. Di satu sisi ada orang yang membela pelaku penyimpangan seksualitas ini atas nama hak asasi manusia. Bagi mereka, kasus ini adalah masalah privasi pribadi makhluk sosial untuk saling menyalurkan perasaan kasih sayangnya pada orang lain dan hal ini patutnya tidak dihakimi atau dijatuhi hukuman. Di sisi lain, terdapat banyak orang yang bersifat menolak dan bahkan menghakimi perilaku seperti ini sebagai perbuatan amoral yang seharusnya dijatuhi hukuman berat.
            Kasus ini juga, tidak hanya menjadi masalah yang dihadapi oleh masyarakat banyak, melainkan ini menjadi suatu bagian dari tugas gereja Tuhan atau umat Kristiani untuk mengambil sikap terhadap kasus ini. Sikap etis Kristiani sangat penting, karena sangat menentukan pada penafsiran terhadap kehendak Allah di tengah-tengah manusia yang bengkok ini. Maka yang menjadi pertanyaan etis bagi kita adalah: apakah pasangan hidup homoseksual suatu pilihan Kristiani?
            Bagi saya, masalah ini memang pelik dan membutuhkan pertimbangan yang matang untuk bersikap tepat dan tidak menyalahi kehendak Allah di dalam memutuskan sikap. Namun, kita harus tetap mengambil sikap terhadap kasus ini.
            Untuk mengevaluasi pergumulan ini, pertama-tama tentunya kita harus berpijak pada dasar konsep teologis yang benar. Untuk itu, yang harus kita ketahui untuk menentukan sikap, yaitu kita tahu bahwa dalam Alkitab, Allah memberikan kesaksian dalam dua kisah penciptaan pada kita, pertama (Kej 1) sifatnya umum, dan menegaskan kesederajatan dalam jenis kelamin, karena dua-duanya diciptakan dalam rupa Allah dan tanggugjawab yang sama. Kisah kedua, (Kej 2) menegaskan kekomplementeran kedua jenis kelamin, yang menyiratkan pengkonstitusian (pelembagaan) asas bagi perkawinan heteroseksual. Maka dalam kisah penciptaan ke dua ini, muncul beberapa kebenaran: pertama, Manusia butuh seorang kawan. “tidak baik dalam manusia seorang diri saja” (ayat 18). Kedua, mengungkapkan upaya ilahi untuk memenuhi kebutuhan insani manusia. Setelah Allah mengatakan bahwa kebutuhan Adam akan partner yang sepadan adalah sah, maka dimulailah pencarian seorang partner yang sepadan, dan ternyata diantara segala makhluk tidak ada yang sepadan untuk menjadi penolong baginya. Maka Allah menciptakan seorang manusia lain [Hawa] dari tulang rusuk Adam yang sepadan dengan dia. Kebenaran ketiga, bahwa di kejadian 2, berkenaan dengan pelembagaan perkawinan sebagai hasil penciptaan perempuan (Kej 2:23). Kata ‘Inilah dia…daging dari dagingku… keduanya menjadi satu daging’, memberi makna bahwa persetubuhan heteroseksual dalam perkawinan sebenarnya asalnya adalah satu, tetapi kemudian pisah satu dari yang lain, dan kini menyatu kembali dalam ikatan perkawinan atau persetubuhan. Namun, untuk bisa menjadi sedaging, diperlukan beberapa persyaratan, yang merupakan bagian hakiki dari perkawinan. Di kejadian 2:24,25; mempertegas ikatan perkawinan yang permanen, dan mencapai kesempurnaannya dalam perkawinan; bahkan Markus 10:4-9, menambahkan bahwa apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan manusia.     
            Dengan demikian, maka Alkitab merumuskan perkawinan yang dilembagakan Allah dalam  bentuk monogami heteroseksual. Artinya, perkawinan itu adalah persatuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang harus diakui dan disahkan oleh umum, dimateraikan seumur hidup dan mencapai kesempurnaannya di dalam satu daging dengan istrinya.
            Singkatnya, bahwa Alkitab tidak menyetujui persetubuhan atau pasangan homoseksual. Pengalaman ‘sedaging’ satu-satunya yang dikehendaki Allah dan dimaksud dalam Alkitab adalah persatuan seksual seorang laki-laki dengan istrinya yang diakuinya sebagai daging dari dagingnya. Dengan demikian, Alkitab tidak pernah memberikan alternatif perkawinan atau persetubuhan selain monogami heteroseksual. Akhirnya, bagi saya, sebagai sikap kita terhadap kasus ini, yaitu tidak menyetujui atau tidak merestui yang dinamakan perkawinan homoseksual.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESTU ORANGTUA DALAM PERNIKAHAN ANAK: HARUSKAH ?

           Pernikahan dalam kekristenan merupakan suatu hal yang sangat sakral dan dijunjung tinggi sebagai komitmen “dipersatukan” di hadapan Tuhan seumur hidup . Pernikahan haruslah penuh dengan keindahan, kekudusan dan kesatuan hati diantara kedua pribadi yang dipersatukan dalam ikatan pernikahan, oleh sebab itu Tuhan menginginkan agar pernikahan itu haruslah pernikahan yang sungguh-sungguh merupakan komitmen (bukan coba-coba/paksaan), dan harus dijalani seumur hidup. Hanya maut yang dapat memisahkan ikatan yang sudah dibentuk tersebut.             Namun, s eringkali di dalam proses untuk mengikatkan dua pribadi menjadi satu yang dilandasi oleh kasih dan komitmen tersebut, mengalami berbagai tantangan dan hambatan. Salah-satu hal yang menjadi pergumulan di dalam ikatan ini adalah ketiadaan “restu/persetujuan orangtua” terhadap ikatan bersatunya kedua hati dalam satu ikatan cinta. Seringkali ada banyak orangtua yang tidak mendukung komitmen pe

Konsep Penyembahan Dalam Roh dan Kebenaran

I.                    Pendahuluan Ibadah Kristiani tidaklah lepas dari suatu yang dinamakan penyembahan kepada Allah .  Bahkan setiap orang percaya seharusnya mempunyai gaya hidup sebagai “penyembah -penyembah ” bagi Allah. D an , karena penyembahan adalah gaya hidup orang percaya, maka memuliakan Allah pastilah menjadi tujuan penyembahan yang disadari, terus menerus, berarti, dan kekal. Dalam pelaksanaannya, penyembahan tidaklah dibatasi oleh masalah tempat, jenis, waktu atau hal apapun, sebab pada esensinya, Pribadi yang disembah adalah pribadi dalam Roh, yang tidak bisa batasi oleh apapun di luar diri-Nya. Kita bisa menyembah Allah dimanapun kita berada dan dalam segala aspek hidup dan pekerjaan kita sehari-hari. Oleh sebab itu, a papun yang kita lakukan mulai dengan kegiatan-kegiatan biasa seperti makan dan minum, haruslah dilakukan untuk kemuliaan Allah , itulah penyembahan sebagai gaya hidup . K emudian dalam penyembahan itu sendiri , Kesad

ANALISA PERKATAAN YESUS: “ANGKATAN INI TIDAK AKAN BERLALU SEBELUM SEMUANYA ITU TERJADI”

Nubuatan Tuhan Yesus dalam Markus 13:30; Mat 24:34; dan Lukas 21:32, mengenai “kapan” kedatangan-Nya untuk kedua kali merupakan nubuatan ayat yang kontroversial, sehingga menimbulkan beberapa penafsiran yang berbeda-beda tergantung pada pola pemahaman orang-orang yang menafsirkannya. Penafsiran terhadap nubuatan ini terus menjadi persoalan yang sering diperdebatkan dengan tujuan untuk mencapai kebenaran yang mendekati pada kebenaran yang alk i tabiah. Usaha ini juga bahkan sampai pada keekstriman pemahaman yang menafsirkan lebih jauh, dengan menghakimi bahwa 'Yesus telah berbuat satu kesalahan besar dalam memprediksi waktu parousia . Di satu sisi juga dengan jelas Yesus pernah mengatakan bahwa Dia sendiri, malaikat pun tidak tahu kapan waktunya Dia akan datang kembali, hanya Bapa yang tahu. Apakah sesungguhnya yang dimaksud oleh Yesus terhadap nubuatannya itu? ANALISA KONTEKS MARKUS 13:30; MATIUS 24:34; LUKAS 21:32 Nubuatan ini merupakan kh