Langsung ke konten utama

Sikap Etis Kristiani Terhadap Kasus Aborsi


            Kasus aborsi merupakan dilema besar yang tentunya tidak mudah untuk dipecahkan. Karena mencakup bermacam-macam aspek: legal, teologis, etis, sosial dan personal. Di dalamnya ada yang pro dan kontra dalam penilaian etis terhadap kasus aborsi ini. Legalitas tindakan aborsi adalah urusan kedua ketertarikaan antara pro-life dan golongan pro-chois. Masalahnya ada legal atau tindakan kriminal, dan inilah inti kontroversi terhadap kasus ini. Golongan pro-aborsi menitikberatkan hak-hak si ibu, yaitu privasi untuk memilih, dengan disertai berbagai argumentasi dibelakangnya yang sifatnya lebih pragmatis misalnya karena alasan tanggungjawab, finansial, aib, kecacatan; Mereka yang anti aborsi menitikberatkan hak-hak si bayi yang belum dilahirkan, dan khususnya hak untuk hidup. Kaum anti aborsi menitikberatkan perlunya pembelaan terhadap hak-hak bayi yang belum di lahirkan itu, yang tidak mampu membela dirinya sendiri.
            Masalah yang pokok dalam kasus aborsi ini adalah tentang hakikat janin, yaitu bagaimana kita berpikir tentang janin dalam rahim ibunya? Mengenai pokok ini ada bermacam-macam pemahaman yang berbeda. Ada yang menganggap bahwa saat menentukan ‘pemanusiaan’ embrio itu adalah pada suatu titik antara penghamilan dan kelahiran; ada yang menganggap bahwa janin hanya sebagian dari tubuh wanita yang mengandungnya, sehingga janin itu belum dapat dianggap makhluk insani; kelompok lainnya menganggap pembuahan atau fusi saat yang menentukan makhluk manusia mulai berada.
            Dalam pandangan Kristen, isu aborsi adalah isu moral dan teologis. Maka, untuk menanggapi masalah ini, yang menjadi taruhannya adalah ajaran iman Kristen mengenai Allah dan manusia. Maka paper ini akan mendalami isu aborsi ini dengan menganalisa  aborsi, kemudian mengungkap beberapa pandangan yang berkontroversi dalam menanggapinya, terakhir tulisan ini akan memberikan argumentasi teologis sebagi sikap etis kristiani terhadap kasus aborsi.

PENGENALAN AWAL KASUS ABORSI
            Gugur kandungan atau aborsi, bahasa Latin: abortus adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran prematur. Abortus provocanus merupakan satu istilah untuk keguguran yang disengaja. Dalam KBBI, aborsi diartikan sebagai tindakan: 1) menggugurkan kandungan; 2) menghentikan; 3) mempersingkat sesuatu: lahir sebelum waktunya; berkembang secara tidak sempurna.  Jadi, tindakan aborsi pada dasarnya adalah suatu sikap yang dilakukan tidak pada jalan yang sewajarnya. Meniadakan sesuatu kehidupan sebelum waktunya, yang seharusnya ia mengalami kehidupan sebagai manusia, dengan cara memaksa atau menghambat kehidupan yang sedang berlangsung dalam rahim.
            Ada banyak hal yang menyebabkan seseorang berani mengambil keputusan untuk melakukan aborsi. Penyebab umumnya diantaranya adalah kehamilan karena tindakan perkosaan. Seorang perempuan yang telah menjadi hamil karena perkosaan itu, jika pikiran tidak dapat tahan menanggung untuk harus melahirkan seorang anak yang dihasilkan akibat kecelakaan itu, maka biasanya ia lebih memilih untuk menggugurkan bakal anak itu. Kemudian, bisa juga disebabkan bila seorang perempuan hamil dan ternyata dalam pemeriksaan ia akan melahirkan seorang anak yang tidak akan dapat hidup atau secara badani akan sangat rusak, maka aborsi menjadi pilihan utama bagi mereka. Jika jika seorang wanita, dalam keadaan tidak nikah, telah menjadi hamil dan anak yang dilahirkan itu adalah anak yang anak “yang tidak dikehendaki”. Juga dalam kehamilan yaitu jika nyawa ibu tertancam dan hanya bisa tertolong (diselamatkan) kalau dikorbankan nyawa anak dalam rahimnya waktu melahirkan, maka umumnya secara kedokteran menganjurkan untuk melakukan tindakan aborsi. Secara financial, bertambahnya seorang anak dalam keluarga akan menjadi beban dan malapetakan bagi keluarga. Maka, untuk menyelesaikan pergumulan berat ini, keputusan terakhir ada pada pilihan antara aborsi atau tidak sama sekali.

KONTROVERSI REAKSI ETIS TERHADAP KASUS ABORSI
Pro-Choice
            Pandangan ini berpendapat bahwa aborsi dapat dilakukan kapan saja. Alasannya adalah keyakinan bahwa janin itu bagian tubuh manusia. Kelompok pro-aborsi atau ”pro-choice” (kebebasan memilih) memberi tekanan utama pada hak seorang ibu memutuskan apakah dia ingin memiliki bayinya. Seorang wanita tidak dapat dipaksa memiliki anak yang bertentangan dengan keinginannya. Di Amerika yang pluralis, ada satu inti utama yang menjadi label bagi mereka yaitu radical individualism. Prinsip etika disimpulkan dari prinsip ini. “ I have a right to live my own life as long as I don’t hurt anybody else. Kebebasan individu menjadi inti dari segala tindakan. Perempuan berhak untuk melakukan tindakan seksual aktif dan jika ia punya benih bayi yang mulai tumbuh dalam kandungannya sebagai hasil dari aktivitas seksualnya, itu bukan tanggungjawab dari perempuan itu atau temannya laki-laki. Jadi, keputusan untuk mengaborsi anak, itu tergantung dari keputusan wanita yang mengandungnya. Kalaupun ia melakukan tindakan aborsi, itu adalah haknya sebagai individu yang punya hak untuk melakukannya. Kaum individualisme bahkan menuntut akan meminimalisasi legalisasi berdasarkan aturan. Mereka berusaha agar individualime menjadi tindakan bebas, bertindak menurut mereka sendiri dan keinginan sendiri. Dalam pandangan kelompok pro-choice tentang janin, secara konsisten mengatakan bahwa embrio atau janin bukan suatu keberadaan manusia atau pribadi atau seseorang memiliki hak hidup yang kepadanya kita memiliki tanggungjawab.
            Argumentasi alkitabiah yang dibangun oleh kelompok ini adalah berdasarkan pada Kejadian 2:7, Ayub 34:14-15, Yesaya 57:16, Pengkhotbah 6:3-5 dan Matius 26:24 yang semuanya ditafsirkan ‘janin bukanlah manusia’ sebab belum dapat bernafas. Argumentasi ilmiahnya: (1) Argumentasi karena kesadaran diri, bahwa bayi hanyalah bagian dari tubuh manusia dan bukan manusia sampai dia memiliki kesadaran diri; (2) Argumentasi karena ketergantungan fisik, bahwa bayi adalah gangguan bagi daerah kekuasaan fisik seorang ibu sehingga seorang ibu berhak mengaborsinya; (3) Argumentasi karena keselamatan sang ibu, bahwa aborsi legal lebih aman dan menyelamatkan ribuan ibu dari kematian dibandingkan aborsi yang dilakukan diam-diam, sembarangan dan tidak bersih; (4) Argumentasi karena siksaan dan penyia-yiaan, bahwa kehamilan yang tidak diinginkan berakibat anak-anak mengalami penyiksaan dan disia-siakan orang tuanya dan aborsi merupakan solusi efektif; (5) Argumentasi karena cacat, bahwa kemajuan ilmu kedokteran dapat mengidentifikasi sejak dini bayi cacat yang dapat ditolak kelahirannya daripada menjadi beban keluarga dan masyarakat. (6) Argumentasi karena kebebasan pribadi sebagaimana keputusan Pengadilan Tinggi AS yang menghormati hak kebebasan pribadi wanita atas tubuhnya sehingga berhak mengeluarkan seorang bayi yang tidak diinginkan dari rahimnya sama seperti hak mengusir tamu dari rumah. (7) Argumentasi karena pemerkosaan, bahwa mempertahankan kehamilan dalam kondisi terhina akibat perkosaan merupakan sikap tidak bermoral dan wanita tidak harus dipaksa memiliki seorang bayi yang bertentangan dengan kemauannya.
            Geisler menilai argumentasi alkitabiah yang memandang janin sebagai bagian dari tubuh manusia sama sekali tidak benar sebagaimana yang dimaksud Alkitab. Nafas tidak dapat menjadi ukuran dimulainya hidup manusia. Kehidupan manusia sudah ada sebelum adanya nafas saat kelahiran, yaitu dari saat pembuahan misalnya, Mazmur 51:7 “dalam dosa aku dikandung ibuku” atau Matius 1:20, “anak yang dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus”. Kelahiran merupakan permulaan kehidupan yang dapat dilihat orang, tetapi bukan permulaan kehidupan itu sendiri sebab seorang ibu dapat merasakan kehidupan dalam kandungannya saat bayi bergerak, kadang bahkan melonjak (Lukas 1:44). Kisah penciptaan Adam adalah kasus unik dan hanya Allah yang memberikan kehidupan bagi manusia dan bagaimana kehidupan diberikan pada saat pembuahan (Kejadian 4:1).
            Anak-anak yang mati karena keguguran memang tidak memiliki pengetahuan apapun (Pkh 6:3-5), tetapi bukan berarti mereka bukan manusia. Orang dewasa pun kelak akan mati dan mereka tetap manusia “sebab tidak ada pengetahuan dalam dunia orang mati kemana engkau akan pergi” (Pkh 9:10). Demikian juga bahwa tingkat pengetahuan bukan ukuran menilai bahwa seorang individu itu manusia atau bukan manusia. Kesadaran diri benar belum dimiliki oleh janin, tetapi juga pada mereka yang sedang tidur, koma, anak-anak kecil yang berumur satu setengah tahun maupun mereka yang kurang pendidikannya. Karenanya, kesadaran diri tidak dapat dijadikan patokan untuk tindakan aborsi.
            Embrio bagi Geisler, bukanlah suatu perluasan dari sang ibu, sebab setelah 40 hari setelah pembuahan embrio itu sudah memiliki ilham, golongan darah dan sidik jari sendiri. Dan akhirnya, embrio itu hanya “bersarang” di dalam kandungan ibunya. Menyikapi legalisasi aborsi, dapat dikatakan bahwa legalisasi aborsi justru membunuh jutaan bayi. Aborsi dapat dinilai sebagai bentuk penyiksaan anak yang paling buruk, penyiksaan melalui kematian yang kejam. Data Departemen Pelayanan Kesehatan dan Manusia sejak aborsi dilegalkan tahun 1973 sampai 1982, penyiksaan anak meningkat lebih dari 500 % dan 91 % dari mereka disiksa orang tua yang menginginkan anaknya. Aborsi terhadap janin cacat tidak dapat dibenarkan sebab sama seperti pembunuhan terhadap bayi atau eutanasia karena alasan genetik.
            Hak kebebasan pribadi, menurut Geisler tidaklah mutlak sebab janin adalah manusia sejak pembuahannya dan aborsi jelas tindak pembunuhan. Aborsi merupakan tindakan lepas tanggung jawab setelah melakukan hubungan seksual bebas sebab “si tamu” datang karena diundang dan diusir karena tidak diinginkan. Benar kita semua menaruh simpati terhadap korban pemerkosaan, tetapi mengaborsi janin jelas tindak pembunuhan. Seharusnya kita menghukum pemerkosa yang bersalah, bukan bayi yang tidak berdosa. Daripada diaborsi, bayi itu lebih baik diadopsi oleh orang lain yang mau merawatnya.

Pro-life
            Tidak ada aborsi: Keyakinan bahwa janin itu benar-benar manusia. Argumentasi alkitabiah yang dibangun antara lain: Lukas1:41,44; 2:12,16; Keluaran 21:22 bahwa bayi yang belum dilahirkan disebut anak-anak dan diciptakan Allah (Maz139:13) menurut gambar-Nya (Kejadian 1:27). Hidup mereka dilindungi undang-undang (Kel 21:22) sama seperti orang dewasa (Kej 9:6). Yesus sendiri menjadi manusia sejak dalam rahim Maria (Mat. 1:20-21; Luk 1:26-27). Secara ilmiah sejak dari pembuahan jenis kelamin pria atau wanita sudah ditentukan dan sesuai dengan kesaksian Alkitab (Kej 1:27). Anak-anak yang belum lahir memiliki karakteristik pribadi seperti dosa (Mazmur 51:5,7) tetapi dikenal dekat dan pribadi oleh Allah (Mzm 1349:15-16; Yer 1:5) bahkan sudah dipanggil Allah sebelum dilahirkan (Kej. 25:22-23; Hak 13:2-7; Yes 49:1,5; Gal 1:15). Anak yang belum lahir disebut secara pribadi dengan kata ganti orang yang sama seperti manusia lainnya (Yer 1:5). Secara ilmiah, bahwa ilmu pengetahuan lewat teknologi kedokteran membuktikan bahwa hidup manusia individual dimulai pada saat pembuahan di mana seluruh informasi genetik ada. Pada saat terjadi pembuahan, ketika sperma laki-laki (23 kromosom) dan sel telur wanita (23 kromosom) bersatu, manusia baru yang kecil yang terdiri dari 46 kromosom muncul dan sejak saat itu sampai kematiannya tidak ada informasi genetik baru yang ditambahkan. Semua yang ditambahkan di antara pembuahan dan kematian adalah makanan, air dan oksigen. Secara sosial, jelas bahwa embrio yang dikandung adalah manusia yang memiliki orang tua manusia. Tindakan aborsi adalah tindakan pembunuhan sama seperti pembunuhan anak bayi atau eutanasia karena melibatkan pasien yang sama, prosedur yang sama dan berakhir dengan hasil yang sama.
            Aborsi telah dinyatakan bersalah oleh banyak masyarakat dan orang-orang moralis. Jika aborsi diterima maka kita mengakui diskriminasi dan berarti kita juga dapat menyingkirkan mereka yang cacat jasmani, para lansia, korban AIDS, pecandu obat-obatan maupun mereka yang terlantar. Kritik dilontarkan atas pandangan bahwa janin benar-benar manusia. Misalnya, bagaimana jika hidup sang ibu terancam? Bagaimana jika janin tidak sampai ke uterus untuk berkembang? Tidakkah kita berkewajiban menyelamatkan semua sel telur yang dibuahi agar tidak terjadi aborsi spontan, karena janin tidak sampai ke uterus? Bukankah hidup kembar identik dimulai sesudah pembuahan? Bagaimana dengan bayi yang tidak sempurna secara genetik, karena hanya mempunyai 45 kromosom (Syndrome Turner) atau yang memiliki 47 (Syndrome Down) ? Embrio bukanlah seorang pribadi manusia, tetapi hanya dalam keberadaan sebagai manusia.
            Jawaban Geisler atas kritik itu sangat jelas. Aborsi secara medis dapat dibenarkan untuk kasus kehamilan tubal dimana pilihannya nyawa ibu atau bayinya. Geisler berpendapat bahwa secara moral dibenarkan mengambil setiap tindakan pencegahan medis untuk menyelamatkan nyawa sang ibu. Artinya adalah aborsi yang dilakukan bukan seperti yang dimaksudkan karena beberapa alasan: pertama, tujuannya bukanlah untuk membunuh bayi; maksudnya adalah untuk menyelamatkan nyawa sang ibu. Kedua, ini adalah masalah nyawa ganti nyawa, bukan satu situasi dimana ada permintaan untuk aborsi. Ketivhga, ketika hidup seseorang terancam, seperti sang ibu, seorang memiliki hak untuk mempertahankannya atas dasar membunuh untuk membela diri. John Stott mengatakan, “Menurut tradisi kristiani, nyawa seseorang boleh dicabut demi melindungi nyawa orang lain, misalnya dalam ikhtiar bela diri; tetapi tidak berhak membawa maut ke dalam suatu situasi dimana tidak ada maut dan ancaman maut”.
            Kematian atau aborsi spontan dimana janin tidak sampai ke uterus, bukanlah tanggungjawab moral kita dan berbeda dengan aborsi buatan (karena permintaan). Aborsi spontan atau kematian alamiah karena keguguran bukan tugas moral kita mencampurinya. Kembar identik manusia sejak pembuahannya sampai pembelahannya tetap manusia 100% dengan masing-masing yang memiliki 46 kromosom. Akhirnya tidak ada perbedaan mendasar antara keberadaan sebagai manusia dan menjadi pribadi manusia, yang ada hanyalah perbedaan fungsional. Geisler menutup uraiannya dengan menyimpulkan bahwa kekudusan hidup merupakan fokus utama perdebatan soal aborsi sehingga kewajiban kita melindungi kekudusan hidup manusia

SIKAP ETIS KRISTIANI
            Dalam perintah ke 6 berbunyi "Jangan Membunuh", maka dalam hal ini ada orang yang bertanya-tanya, dalam situasi dan kondisi yang rumit, apakah perintah ini berlaku? Dan kalau kita melihat konteksnya, maka perintah ini ditujukan untuk manusia. Dan sekarang yang menjadi masalah utama adalah tentang status fetus itu sendiri;
            Apakah fetus atau janin itu manusia atau bukan? Syarat apakah yang harus dimiliki "sesuatu" supaya dapat dianggap seorang manusia, jelasnya supaya memiliki hak hidup? Jika kita menganggap bayi yang belum dilahirkan bukan manusia, tetapi hanya benda, kapankah fetus itu dapat menikmati statusnya sebagai seorang manusia atau pribadi? Jika janin itu belum mempunyai status sebagai manusia, maka Abortus tidak dapat dicap sebagai pembunuhan, dan masalah kita dapat diselesaikan, tetapi jika itu adalah manusia yang sedang mengalami proses pertumbuhan secara kontinu, maka ini jelas merupakan suatu pembunuhan. Dalam hal ini, ada pendapat yang menyatakan bahwa sejak terjadinya konsepsi, seorang anak sedang dibentuk melalui proses yang alamiah dan terus-menerus, sel telur yang sudah dibuahi itu dalam waktu sembilan bulan lebih akan berkembang menjadi bayi yang mempunyai ratusan juta sel dan fetus mempunyai sistim sirkulasi sendiri dan otak.

Konsep Teologis
            Alkitab memberi nilai yang tinggi atas hidup manusia. Dalam Ul 5 :117 tertulis "Jangan Membunuh" dan dalam Kel 21:22-24 dipersoalkan tentang kasus pengguguran (Aborsi), khususnya mengenai kasus kecelakaan seorang wanita yang sedang mengandung, yang terlibat dalam perkelahian antara dua orang laki-laki, apabila si ibu hidup dan kandungannya gugur, maka orang tersebut harus ganti rugi, dan kalau ibu itu mati dan kandungannya juga gugur, maka harus nyawa ganti nyawa. Dalam hal ini ternyata orang Yahudi sangat menghargai hidup, termasuk hidup binatang (lih Ul 22:6,7). Alkitab juga memberitahukan kepada kita bahwa kehidupan sudah dimulai pada saat konsepsi, dalam Mat 1:20 dituliskan bahwa Yesus dikandung oleh Roh Kudus, dengan demikian Yesus sungguh-sungguh menjadi manusia yang seutuhnya pada saat konsepsi.
            Alkitab juga memandang bayi yang belum dilahirkan itu sebagai satu pribadi atau manusia. Mzm 139:13-16 mencatat tentang Daud, yang pada waktu dikandung sudah merupakan manusia dalam pemeliharaan Allah. Yer 1:5 mencatat "Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa. Juga dalam ayat yang lain yakni Mzm 51:7 Daud mengaku bahwa sifat dosanya sudah ada sejak ia masih dalam kandungan.
            Dalam Kej 1:26,27; 2:7 tertulis bahwa Allah menjadikan manusia menurut gambar dan rupa-Nya, yang menunjukkan bahwa hidup ini kudus dan sangat berharga di hadapan Allah yang telah menciptakannya. Maka dalam hal ini secara tegas Alkitab tidak membenarkan Aborsi, alasannya:
1.      Hidup manusia semata-mata Karunia Allah
2.      Tuhan mempunyai rencana keselamatan bagi setiap insan yang lahir ke dunia ini.
3.      Manusia tidak berhak untuk mencabut hak hidup dari pada fetus ataupun embrio, yang   berhak hanyalah Allah; jangan kita merampas hak Allah.

            Oleh sebab itu, Sikap etis Kristiani dalam menanggapi masalah aborsi ini, pertama-tama harus dilihat dari prerogatif Allah, karena masalah memberi hidup atau mengambil hidup adalah urusan Allah. Semua orang Kristen percaya bahwa Allah yang mahakuasa adalah Allah pencipta segala sesuatu, pemberi hidup, pemelihara dan pengambil hidup. Dialah yang memberi nafas dan segala sesuatu kepada manusia, artinya bahwa hidup dan mati manusia adalah bagian dari Allah.
            Selanjutnya, bagi kita sebagai orang Kristen meyakini bahwa terjadinya kehidupan manusia itu bukan acakan atau terjadi secara otomatis, melainkan merupakan karya keterampilan kreatif Allah. Seperti dikatakan dalam Mazmur 139:13, “Engkaulah yang membentuk buah pinggangku dan menenun aku dalam kandungan ibuku”, artinya bahwa, kehidupan manusia itu terjadi oleh karena ada penyebab yaitu Allah. Dia yang ‘membentuk’ manusia, dan ia mengenal sejak sebelum dalam kandungan (Yer.1:5). Selanjutnya, bahwa kehidupan manusia merupakan kontinuitas (kesinambungan) artinya bahwa manusia mempunyai identitas yang sama baik di dalam maupun di luar kandungan, sebelum maupun sesudah kelahiran, sebagai janin, bayi, pemuda, dan orang dewasa tetap sebagai pribadi yang sama. Kehidupan janin insani adalah suatu kehidupan insani, dengan potensi menjadi makhluk manusia yang seutuhnya. Dorothy I. Marx dalam bukunya Itu kan Boleh?, beliau mengatakan bahwa saat pertemuan merupakan saat penentuan kehidupan fetus dalam hal-hal: a) Sifat pembawaan yang kelak diperolehnya dari orangtuanya. b) Bakat-bakat serta IQ yang kelak dinyatakannya. c) Sifat-sifat pribadi yang kelak dimilikinya. d) Tinggi badannya kelak. e) Warna mata dan rambutnya. f) Kekuatan fisiknya dan mutu kesehatannya. Berdasarkan hal ini, maka dapar dikatakan bahwa: pertama, walaupun janin berada di dalam kandungan ibunya selama 9 bulan dan mengalami suatu proses pembentukan dan pertumbuhan, namun kepribadiannya sudah terbentuk sejak ia mulai dikandung; kedua, walaupun janin berada di dalam kandungan selama 9 bulan, dan belum dapat disebut "Manusia Seutuhnya", tetapi peri-kemanusiaan sudah ada sejak ia mulai dikandung. Maka dalam hal ini, tindakan Aborsi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dibenarkan dan merupakan suatu pembunuhan.
            Maka yang seharusnya kita pikirkan bahwa baik ibu yang mengandung maupun anak yang dikandung, sebagai dua makhluk manusia yang masing-masing berada dalam dua tahap pertumbuhan yang berbeda. Penghuni rahim ibu bukan ‘produk pembuahan’, melainkan seorang anak yang belum dilahirkan. John Stott, bahkan lebih lanjut mengatakan bahkan pengertian ‘kehamilan’ itu sendiri hanya menunjuk kepada suatu proses saja, yang sedang berlangsung dalam tubuh si ibu. Jadi, janin bukan sebagian dari tubuh ibunya, bukan pula makhluk insan yang potensial, melainkan sudah suatu kehidupan insani, yang meskipun belum matang, mempunyai potensi untuk bertumbuh menuju kepenuhan dari kemusiaan individualnya yang sudah dimilikinya. Stephen Schwarz, dalam menanggapi isu aborsi ini  menegaskan demikian,
On the whole, apart from the rare instances where there are live births, abortion is the killing of the child. it is a deliberate and intentional killing, either because one wants the child dead, or because on chooses a method of removal that in fact constitutes killing”.

 Mark Belz, dalam bukunya, Suffer The Little Children: Christians, Abortion, and Civil Disobedience, menyatakan sikapnya terhadap kasus aborsi:
We oppose abortion because we believe that abortion is the destruction of human life. But it is not just abortion in general and human life in general. We beliece that each abortion is the taking of the life of an individual human being”.

Ia meneruskan alasannya berdasarkan konsep Alkitabiah dengan menyatakan:
The Bible teachers that every human being is created in the image of God, and the Sixth Commandment prohibith killing those created in God’s image. If abortion is the intentional, unjustified destruction of another human being, then abortion is a clear violation of that comandment.”

            Jadi, sikap Kristen sangat tegas, bahwa aborsi merupakan suatu pelanggaran terhadap ketetapan Allah. Aborsi bukan merupakan pilihan Kristiani dalam kasus apapun.Verkuyl dalam bukunya Etika seksual menyimpulkan suatu pertibangan etis terhadap sikap penolakkan atas tindakan aborsi. Ia menyatakan bahwa kejujuran menuntut untuk mengakui tiga kenyataan. Pertama-tama, bahwa kehidupan manusiawi telah dimulai pada waktu konsepsi dalam rahim; yang kedua, bahwa setiap hidup manusiawi, juga hidup janin, berhak atas perlindungan; dan ketiga, setiap pengambilan keputusan, yang membinasakan hidup yang sedang mulai itu adalah pembunuhan hidup manusiawi yang sedang mulai.
            Itulah sebabnya, aborsi merupakan dosa yang mengerikan. Bahwa merupakan suatu keberanian bagi kita manusia yang fana ingin berperan sebagai Allah untuk mencabut nyawa manusia. Orang-orang yang melakukannya bukan saja membunuh hidup melainkan menentukan siapa harus hidup. Akhirnya tidak ada alasan bagi kita untuk melegalkan tindakan aborsi. Aborsi adalah pelanggaran terhadap hukum Allah, dan Allah sangat membenci tindakan seperti itu.

KESIMPULAN
            Aborsi dalam kaitannya dengan kekristenan merupakan suatu isu moral dan  teologis. menjadi rumit untuk diputuskan. Aborsi bisa dilakukan karena berbagai alasan yang mendasar dan mendesak, misalnya karena korban perkosaan, demi keselamatan ibu, karena masalah financial dan sebagainya. Maka, tindakan aborsi seringkali dijadikan pilihan terakhir ketika permasalahan mengenai janin. Isu sentral dari kasus ini adalah hakikat janin dalam kandungan ibunya, yaitu bagaimana kita berpikir tentang janin dalam rahim ibunya. Kasus aborsi dalam lingkup etika ditanggapi secara berbeda-beda. Ada yang berlaku pro-choice yang menitikberatkan hak-hak si ibu, yaitu privasi untuk memilih. Akibatnya aborsi dijadikan sebagai sesuatu yang legal. Tanggapan lain adalah pro-life, yang menitikberatkan hak-hak si bayi yang belum dilahirkan, dan khususnya hak untuk hidup. Kedua pandangan ini secara kristiani mempunyai dasar alkitabiah yang mendukung akan posisi-posisi mereka.
            Lalu bagaimana etika Kristen menyingkapi masalah ini? Ternyata, berdasarkan argumentasi Alkitabiah aborsi bukanlah pilihan Kristen. Alkitab tetap memandang bahwa tindakan aborsi adalh suatu pelanggaran terhadap Firman Allah dan hukum-hukum Allah. Dan manusia yang melakukannya bisa dianggap sebagai orang yang “menggantikan” posisi Allah sebagai permilik manusia, yang mana dengan berani menentukan siapa yang berhak untuk hidup dan yang berhak untuk mati. Akhirnya, secara kristiani, aborsi bukanlah pilihan kristiani dan Allah membenci tindakan aborsi tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

Belz, Mark. Suffer The Little Children: Christians, Abortion, and Civil Disobedience. Illinois: Crossway Books, 1989
Davis, John Jefferson. Abortion and the Christian: What Every Believer Should Know. New Jersey: Presbyterian and Reformed Publisher co, 1984
Geisler, Norman L. Etika Kristen: Pilihan dan Isu. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2000
Gorman, Michael J. & Brooks, Ann Loar. Holy Abortion?: A Theological Critique of the Religious Coalition for Reproductive Choice. Oregon: Wipf and Stock Publishers, 2003
Marx, Dorothy I. Itu ‘Kan Boleh?. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, tt
Salim, Peter. The Contemporary English-Indonesian Dictionary. Jakarta: Modern English Press, 1991
Schwarz, Stephen. The Moral Question of Abortion. Chicago: Loyola University Press, 1990
Stott, John. Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani: Penilaian Atas Masalah Sosial dan Moral Kontemporer, terj G.M.A. Nainggolan. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1996
Verkuyl, J. Etika Kristen: Etika Seksuil. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982
Wenberg, Robert N. Life in the Balance: Exploring the Abortion Controversy. Grand Rapids, Michigan: Willian B. Eerdmans Publishing Company, 1985
Zimbelman, Ernie. Human sexuality and evangelical Christians. Lanham: University Press of America, tt

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESTU ORANGTUA DALAM PERNIKAHAN ANAK: HARUSKAH ?

           Pernikahan dalam kekristenan merupakan suatu hal yang sangat sakral dan dijunjung tinggi sebagai komitmen “dipersatukan” di hadapan Tuhan seumur hidup . Pernikahan haruslah penuh dengan keindahan, kekudusan dan kesatuan hati diantara kedua pribadi yang dipersatukan dalam ikatan pernikahan, oleh sebab itu Tuhan menginginkan agar pernikahan itu haruslah pernikahan yang sungguh-sungguh merupakan komitmen (bukan coba-coba/paksaan), dan harus dijalani seumur hidup. Hanya maut yang dapat memisahkan ikatan yang sudah dibentuk tersebut.             Namun, s eringkali di dalam proses untuk mengikatkan dua pribadi menjadi satu yang dilandasi oleh kasih dan komitmen tersebut, mengalami berbagai tantangan dan hambatan. Salah-satu hal yang menjadi pergumulan di dalam ikatan ini adalah ketiadaan “restu/persetujuan orangtua” terhadap ikatan bersatunya kedua hati dalam satu ikatan cinta. Seringkali ada banyak orangtua yang tidak mendukung komitmen pe

Konsep Penyembahan Dalam Roh dan Kebenaran

I.                    Pendahuluan Ibadah Kristiani tidaklah lepas dari suatu yang dinamakan penyembahan kepada Allah .  Bahkan setiap orang percaya seharusnya mempunyai gaya hidup sebagai “penyembah -penyembah ” bagi Allah. D an , karena penyembahan adalah gaya hidup orang percaya, maka memuliakan Allah pastilah menjadi tujuan penyembahan yang disadari, terus menerus, berarti, dan kekal. Dalam pelaksanaannya, penyembahan tidaklah dibatasi oleh masalah tempat, jenis, waktu atau hal apapun, sebab pada esensinya, Pribadi yang disembah adalah pribadi dalam Roh, yang tidak bisa batasi oleh apapun di luar diri-Nya. Kita bisa menyembah Allah dimanapun kita berada dan dalam segala aspek hidup dan pekerjaan kita sehari-hari. Oleh sebab itu, a papun yang kita lakukan mulai dengan kegiatan-kegiatan biasa seperti makan dan minum, haruslah dilakukan untuk kemuliaan Allah , itulah penyembahan sebagai gaya hidup . K emudian dalam penyembahan itu sendiri , Kesad

ANALISA PERKATAAN YESUS: “ANGKATAN INI TIDAK AKAN BERLALU SEBELUM SEMUANYA ITU TERJADI”

Nubuatan Tuhan Yesus dalam Markus 13:30; Mat 24:34; dan Lukas 21:32, mengenai “kapan” kedatangan-Nya untuk kedua kali merupakan nubuatan ayat yang kontroversial, sehingga menimbulkan beberapa penafsiran yang berbeda-beda tergantung pada pola pemahaman orang-orang yang menafsirkannya. Penafsiran terhadap nubuatan ini terus menjadi persoalan yang sering diperdebatkan dengan tujuan untuk mencapai kebenaran yang mendekati pada kebenaran yang alk i tabiah. Usaha ini juga bahkan sampai pada keekstriman pemahaman yang menafsirkan lebih jauh, dengan menghakimi bahwa 'Yesus telah berbuat satu kesalahan besar dalam memprediksi waktu parousia . Di satu sisi juga dengan jelas Yesus pernah mengatakan bahwa Dia sendiri, malaikat pun tidak tahu kapan waktunya Dia akan datang kembali, hanya Bapa yang tahu. Apakah sesungguhnya yang dimaksud oleh Yesus terhadap nubuatannya itu? ANALISA KONTEKS MARKUS 13:30; MATIUS 24:34; LUKAS 21:32 Nubuatan ini merupakan kh