Langsung ke konten utama

Suatu Evaluasi Kritis Terhadap Pendekatan Inklusif Kristen Dalam Berteologi Religionum


Keberagamaan merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia (semen religio) sebagai ciptaan Allah. Sebagai makhluk homo religio, setiap orang pasti memeluk agama-agama tertentu. Keberagaman keagamaan manusia tersebut pada dasarnya memiliki sifat fanatik di dalam dirinya sendiri yang dalam interaksinya dengan agama-agama lain berakibat timbulnya konflik dengan agama-agama yang lain yang sama memiliki kefanatikan di dalam ajaran dan praktek keagamaannya. Maka, dengan situasi masyarakat agama-agama yang homo homini lupus membuahkan kekerasan atas ‘nama agama’. Dalam hal ini, kekristenan tidak hidup dalam kesendirian melainkan selalu berinteraksi dengan agama-agama yang lain, yang jika tidak mempunyai sikap yang baik dan toleransi, tentunya konflik akan menjadi tantangan yang sangat serius. Oleh sebab itu, khususnya kekristenan perlu melakukan suatu pendekatan-pendekatan yang tepat, guna kepentingan keharmonisan dan sikap saling menghargai diantara agama-agama, sehingga bisa meminimalkan konflik antar agama. Dalam hal ini, kekristenan  telah berupaya melakukan pendekatan-pendekatan yang pada akhirnya jatuh di dalam sisi keektriman (pendekatan ekslusifisme) yang terlalu tertutup; juga pendekatanya lainnya yang terlalu terbuka yang meniadakan keunikan kekristenan sama sekali (pendekatan pluralisme). sebagai jalan keluar dari dua kutup ekstrim ini, maka muncullah pendekatan yang dikenal dengan istilah inklusifisme, yang dalam pendekatannya selalu berusaha mencari jalan tengah tetapi juga memiliki kejatuhannya sendiri yaitu dalam pendekatannya telah menggadaikan kristus”, demi keharmonisan. Tulisan singkat ini hanya fokus pada pengevaluasian secara kristis terhadap salah satu pendekatannya saja yaitu pendekatan inklusifisme yang terlalu terbuka dan bahkan menjadi sikritis di dalam pendekatannya.

KONTEKS KEPRIHATINAN DALAM BERTEOLOGI RELIGIONUM
Kemajemukkan Keagamaan Sebagai Fakta Sekaligus Krisis
Pluralistik dalam segala aspek kehidupan kemanusiaan merupakan suatu fakta kehidupan yang tidak dapat diingkari. Kemajemukan bukan hanya berbeda secara etnis, suku, budaya; tetapi tiap-tiap individu pada hakikatnya unik dan berbeda. Kemajemukkan tersebut telah menimbulkan problematika yang cukup kompleks, seperti munculnya konflik agama, pluralis agama dan sebagainya. Setidaknya bisa dipahami bahwa timbulnya konflik antar masyarakat beragama bisa disebabkan oleh sikap kefanatikan atas perbedaan doktrinal dan sikap keagamaan; dan masalah mayoritas dan minoritas golongan agama. Herlianto dalam analisanya mengenai pergumulan ini menegaskan bahwa, pluralistik agama bukannya memperingan masalah tetapi malah menambah masalah, soalnya umumnya agama-agama itu mempunyai tekat misioner yang kuat, serta praktek keagamaan yang bersifat fundamentalis. Setiap orang yang menganut agama tertentu memiliki perspektif tertentu, yang harus dipertahankan posisinya, dan juga adanya kerinduan di dalam hati mereka untuk mengembangkan ajaran dan pengaruh agamanya masing-masing kepada setiap lapisan masyarakat dengan tujuan untuk lebih berkembang. Sehingga, ketika setiap individu tersebut melakukan “misinya” masing-masing, saling memperebutkan pengaruh, dan ingin supaya ajarannya yang diterima, maka sesuatu yang tidak bisa ditolak ialah konflik.
Maka, jika tidak ada suatu solusi yang bisa menyatukan atau suatu titik toleransi diantara agama-agama, maka fanatisme keagamaan akan membawa dampak pada konflik di tingkat kepercayaan yang berimbas pada seluruh aspek kehidupan kemanusiaan lainnya. Oleh sebab itu dalam hal ini, setidaknya ada tiga usaha agama-agama dalam mengingkapi kemajemukan tersebut. Pendekatan-pendekatan tersebut dapat dibagi demikian: eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme. Dalam hal ini, pendekatan inkluvisme muncul sebagai penengah atau alternatif dalam usaha rekonsiliasi ketegangan pandangan dalam iman Kristen yaitu antara eksklusivisme dengan pluralisme. Karl Rahner merupakan tokoh paling berpengaruh dalam pendekatan ini, yang berusaha mencari jalan keluar terhadap masalah polarisasi tersebut, melalui pendekatan yang sifatnya inklusifisme.

Pendekatan Inklusifisme Dalam Berteologi Religionum
            Dalam hal meminimalisasi konflik diantara agama-agama, pendekatan inklusifisme menjadi suatu solusi yang dianggap cukup baik dan efisien bagi tercapainya keharmonisan diantara agama-agama. Pendekatan ini umumnya lebih diterima ketimbang pendekatan eksklusivisme maupun pluralisme, karena posisi inklusivis merupakan suatu posisi keterbukaan terhadap sesuatu dari luar atau yang berlainan dan mempersilahkan yang berlawanan mendapat bagian di dalam dirinya. Wikipedia Free Encyclopedia, menjelaskannya pendekatan inklusif, demikian: “Traditional inclusivism, which asserts that the believer’s own views are absolutely true, and believers or other religions are correct insofar as they agree with that believer.” Sikap inklusif ini akan pada saat menghadapi kontradiksi yang nyata, misalnya suatu pembedaan yang perlu pun dapat dibuat antara tataran-tataran berbeda sehingga dimungkinkan untuk mengatasi kontradiksi tersebut. Sikap penerimaan yang toleran akan adanya tataran-tataran yang berbeda, akan lebih mudah tercapai. Sikap ini menerima ekspresi ‘kebenaran’ yang beraneka ragam sehingga dapat merengguh sistem-sistem pemikiran yang paling berlainan sekalipun, ia terpaksa membuat kebenaran bersifat relatif murni. Dalam hal ini kebenaran doktrinal hampir tidak bisa diterima sebagai yang universal.
Dalam hal ini, inklusifisme berarti semua agama lain memiliki otentisitas masing-masing, tetapi hanya jika mereka masuk (to be included/inclusive) ke dalam bingkai kekristenan—yakni jika agama-agama itu masuk untuk berjumpa Yesus Kristus di dalam kekristenan---maka serentak dengan itu, mereka mendapat kepenuhan/kegenapan kesempurnaannya. Hanya dengan gerak sentripetal (masuk ke pusat, yakni Yesus Kristus), maka agama-agama lain itu tiba pada, atau ditransformasi pada kesempurnaan. Hanya dengan bertemu Yesus, agama-agama lain berubah dari bulan sabit menjadi bulan purnama, dari samar-samar menjadi terang benderang. Walaupun terbuka, inklusivisme masih berdiri atas presaposisi keutamaan/ supremasi/ keunggulan Yesus Kristus dibandingkan para tokoh-tokoh suci pendiri agama lainnya.

Filosofi: The Wideness of God
Dalam pendekatan inklusivisme, salah-satu titik acuan penerimaan secara toleransi kepada agama-agama lain adalah pemahaman mereka akan kasih Allah yang sifatnya universal, dimana penekanan kaum inklusif terletak pada kehendak Allah yang universal yang menginginkan semua manusia diselamatkan. Bagi Pinnock, seorang yang berpandangan inklusivisme secara eksplisit dan komprehensif mempertahankan pandangan bahwa pada akhirnya sebagian benar manusia akan diselamatkan karena universalitas kasih-Nya. Hal ini tidak berarti Pinnock menyetujui universalisme atau pandangan liberal-pluralistik yang menolak keontetikan, keunikan, finalitas inkarnasi Kristus.
            Konsep The Wideness of God berusaha memahami universalitas Allah dari sisi sifat jangkauan anugrah-Nya yang luas. Ini berarti Allah memperhatikan, membuka diri-Nya, dan berusaha menetapkan jangkauan keselamatan secara luas kepada semua orang dalam segala bangsa, termasuk kepada mereka yang berada dalam agama-agama lain. Aspek keterbukaan Allah ini didasarkan oleh Pinnock pada sifat dasar “Allah yang adalah kasih”, yang mengkomunikasikan diri-Nya secara universal kepada semua manusia lewat aksi dan reaksinya di hadapan mereka. Kasih Allah yang universal inilah merupakan komitmen Allah untuk menyelamatkan semua manusia. Dalam hal ini, Rahner dalam pendekatannya menekankan ajaran yang sama bahwa Tuhan itu kasih adanya. Dengan membentangkan lebih jauh akan makna dari Tuhan yang kasih itu, ia menjelaskan demikian, kalau Tuhan itu kasih di dalam 1 Yohanes 3:8, maka artinya bahwa Tuhan itu mau menjangkau dan merangkul semua orang dan makhluk hidup. Baginya, Allah itu mengaruniakan rahmat keselamatan kepada tiap-tiap orang. Sebab kalau tidak, berarti Tuhan itu tidak mengasihi tiap-tiap orang.
            Intinya, karya keselamatan atau penebusan dilakukan dengan dua saluran anugrah: pertama: anugrah yang menyelamatkan (saving grace), yaitu melalui universalitas penebusan Kristus yang ditawarkan dengan luasnya kepada semua orang (Yoh 3:16); kedua, penebusan kosmis aktifitas Roh Kudus dapat menolong kita untuk mengkonseptualisasi dan mengimplementasi anugrah (kasih) Allah. Karena anugrah Allah bekerja secara tidak terbatas dan secara berganda, maka ada harapan yang besar bahwa semua manusia dapat diselamatkan. Implikasi dari universlitas atau pelebaran Kasih Allah ini menegasakan bahwa Allah berkeinginan menyelamatkan semua orang dalam anugrahnya, dan Allah Anak membuat keselamatan ini menjadi mungkin melalui pekerjaan penebusan-Nya, dan Allah Roh Kudus menjangkau secara universal orang-orang yang terhilang dan berdosa; kemudian, karya keselamatan universal beroperasi secara tidak terbatas. Artinya anugrah keselamatan juga dinyatakan di luar konteks gereja, sebab Allah melalui karya Roh Kudus bekerja.

Kristologi Kosmik Sebagai Dasar Pendekatan
Kasih Allah itu universal, diberikan kepada semua bangsa, bahkan pada agama apapun itu, namun kasih itu juga partikular, diberikan secara nyata di dalam Kristus Yesus. Dalam hal ini, konsekuensi lebih lanjut akan pandangan the wideness of God dalam pendekatan inklusivisme adalah tercetusnya konsepKristologi Kosmik” yang memahami sosok Kristus Kosmik yang bertindak sebagai figur juruslamat yang universal sekaligus inklusif. Sikap inklusif menegaskan bahwa, Kristus hadir serta bekerja juga di kalangan mereka yang mungkin tidak mengenal Kristus itu secara pribadi. Karl Rahner sebagai tokoh penting dalam pendekatan ini, mengatakan bahwa, karya Kristus juga berlangsung di dalam agama-agama lain, sekalipun tidak disadari oleh penganut agama-agama tersebut, namun Karl Rahner juga tetap menegaskan pendapatnya bahwa, Kristus tetaplah yang paling final dan difinitif, satu-satunya jalan keselamatan. Posisi ini sering dikalimatkan dengan proposisi “semua agama ada dibawah pengaruh penebusan Kristus”, atau “hanya ada satu agama yang benar semua agama mendapat bagian kebenaran dari agama yang satu tersebut.” Posisi inklusivisme ektrim demikian selalu membuahkan yang namanya sinkritisme agama-agama. Posisi inklusif ini terkenal dengan istilah “Christianity and Non Christian Religions”. Di dalam pandangan ini, orang-orang dari kepercayaan lain, melalui anugrah Kristus, diikutsertakan dalam rencana keselamatan Allah. Robbyanto, menjelaskannya dengan mengutip pemikiran dari Sunand Sumitha, seorang teolog, sekaligus misiolog injili yang berfaham inklusivisme dari India, yang berkometar demikian: “Taking Col. 1:15-20 as his basis, where the word ‘all’ is repeated at least six times, Sittler concludes that God’s redemption is not smaller than the repeated ‘all’ it is ‘cosmic in scope’”. Interpretasi ini kemudian dijadikan oleh Sumitha sebagai dasar tugas misi penginjilannya yang terbuka bagi agama-agama lain, yang akihrnya berbuahkan sinkritisme dengan cara mereduksi kebaikan dari ajaran agama-agama lain sebagai tambahan berita Injil yang diberikatannya.
Pada umumnya ajaran tentang Kristus Kosmik ini dibangun pada prasuposisi bahwa sebelum inkarnasi, oknum kedua Trinitas [Kristus] telah bekerja secara aktif dalam penciptaan dan pemeliharaan alam semesta. Ia juga telah menjangkau berbagai tempat dan konteks dalam sejarah umat manusia. Dari sini dapat ditarik implikasi bahwa karya Kristus sebelum berinkarnasi adalah sebagai Kristus kosmik dan ini meliputi umat manusia di berbagai tempat dan waktu. Aktivitas tersebut tetap berlangsung bahkan setelah peristiwa kebangkitannya. Jadi, dasar pendekatan inklusivisme dalam hal ini adalah penafsiran mereka terhadap PL akan pekerjaan Kristus yang sifatnya universal. Selanjutnya, Joseph Sittler, mendasari konsep Kristus Kosmiknya dasar pemikiran yang sama dengan Samartha yaitu di dalam Kolose 1:15-20, dengan eksigesis yang dilakukan pada kata segala ‘all’ yang muncul berulangkali pada bagian tersebut, kemudian, Sittler menyimpulkan bahwa tindakan penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus memiliki dampak kosmik (cosmic effects).
            Landasan ini kemudian dipakai sebagai basis untuk mendukung posisi inklusivisme dengan menegaskan bahwa pre-eksis (pre-exixting Christ) telah hadir dan aktif berkarya di dalam agama-agama lain. Dengan demikian, dapat ditarik inferensi sebagaimana Karl Rahner lakukan dengan konsep anonymous christian-nya, atau Stanley Samartha dengan konsep unbound Christ-nya, atau M.M. Thomas dengan konsep Christ centered syncretism-nya. Paul Knitter berdasarkan Roma 8:19, menunjukkan bahwa keselamatan yang diperoleh melalui Kristus bekerja bukan hanya bagi kepentingan orang-orang Kristen, the son of God, tetapi melalui mereka karya keselamatan itu menjangkau seluruh ciptaan.

Agama-Agama Merupakan “Jalan Keselamatan”
            Rahner menegaskan pandangan yang mengejutkan dengan pengatakan bahwa: rahmat Allah bekerja di dalam agama-agama. Allah menawarkan pengorbanan diri-Nya di dalam dan melalui kepercayaan, perbuatan, dan ritual agama-agama lain. Tuhan menghimpun semua orang bagi dirinya di dalam dan melalui kepercayaan dan perbuatan agama-agama Hindu, Budha, Islam dan agama-agama pribumi. Jadi, agama-agama non-Kristiani bisa menjadi “jalan positif untuk menemukan hubungan yang benar dengan Tuhan dan karena itu memperoleh keselamatan, suatu jalan yang secara positif masuk dalam rencana keselamatan Tuhan”, yang “secara positif” dikehendaki Tuhan. Teologi Rahner ini berusaha membangun suatu kemungkinan kehadiran ilahi di dalam agama-agama lain. Jadi, Pendekatan inklusiv hampir sama dengan pluralisme yang menjadikan memungkinkan keselamatan bisa terjadi di dalam agama-agama lain. Namun, penekanan pada kasih Allah melalui penebusan Kristus menjadi bagian dalam agama-agama lainnya karena penebusan Kristus menjadi pemenuhan final bagi agama-agama lain, atau Kristus menjadi norma di atas segala norma yang ada dalam agama-agama lain, juga mencirikan akan keeksklusivan di dalam pandangan Kritologinya. Sehingga agama-agama lain dipandang sebagai sarana-sarana untuk menolong manusia mengenal Kristus secara anonim, yang membawa mereka pada keselamatan.
.
Kristen Anonim
            Rahner menambahkan satu keyakinan kristianinya yang esensial ke teologi agama-agama, yang menyatakan “semua rahmat adalah anugrah Kristus”. Rahner menegaskan akan kebutuhan akan Kristus dalam keselamatan hanya sebagai ke butuhan “final” bukan dalam pengertian “efesiensi”. Baginya, Yesus bukan alasan efisien bagi keselamatan , tetapi alasan yang final. Artinya kita bisa komit secara penuh untuk menjalani satu kehidupan penuh kasih dan keadilan seperti Tuhan, kita perlu tahu, jelas dan yakin bahwa Tuhan telah memberikan diri-Nya kepada kita, keyakinan ini disediakan Tuhan di dalam Yesus. Inilah apa yang diartikan sebagai “sebab final dan “juruslamat absolut”.
Bagi Rahner, kebutuhan itu merupakan sebab final dalam artian bahwa mereka yang tidak mengenal Yesus masih bisa merasakan kasih Allah yang menyelamatkan, namun mereka belum mampu melihat secara jelas kemana arahnya, apa tujuannya benar dan apa kemungkinan-kemungkinannya. Jadi setiap pemeluk agama Budha, Hindu, Islam yang mengalami rahmat kasih Allah di dalam agama mereka masing-masing sudah terhubung dengan dan terorientasi ke gereka Kristiani. Mereka bisa dikatakan sudah menjadi Kristiani tanpa nama Kristiani, atau Kristiani anonim.

SUATU EVALUASI KRITIS TERHADAP PENDEKATAN INKLUSIFISME
Kristus Yang “Tergadaikan”
Kristus adalah untuk semua agama, dan melingkupi semua agama apapun! Faham universalitas tersebut menekankan kepercayaan bahwa anugrah Allah di dalam Kristus bersifat universal. Pemahaman ini jelas mengaburkan muatan iman Kristen yang bertumpu pada kebenaran fundamental yang normatif menjadi relatif dan cenderung disamakan dengan apa yang ada di dalam agama lain. Model “pemenuhan” menurut konsep Rahner telah merendahkan sisi eksklusivitas kekristenan dalam hal “finalitas Kristus” yang sejati, berubah menjadi sesuatu yang relatif bagi kepercayaan-kepercayaan yang lain. Kemutlakkan finalitas Kristus ‘diperlunak’ hingga hanya menjadi sebagai “penyempurna” atau “pemenuhan” bagi agama-agama lain. Sebenarnya walaupun mereka mengakui akan finalitas Kristus dalam hal keselamatan, namun sebenarnya keunikan Kristus itu hampir pudar dan tidak ada signifikannya bagi keselamatan.
Keunikan Kristus “digadaikan”, dalam hal ini maksudnya adalah “keunikan” digantikan dengan “superioritas Kristus” terhadap agama-agama lain. Superioritas ini terlihat di dalam pemikiran Harvey Conn yang meletakkan Kristus di atas agama, dalam pengertian bahwa semua agama dapat menyelamatkan (di dalam Kristus); juga konsep Ken Gnanakan, yang menegaskan bahwa semua agama berada di bawah pengaruh Kristus. Dalam pendekatan ini, memaksakan Kekristenan untuk membagikan Kristus pada agama-agama tanpa perlu menjadi Kristen, berkonsekuensi akan adanya yang dinamakan dengan orang-orang Kristen Anomim, yaitu Kristen yang bukan Kristen (masih memeluk agama lain, tatapi percaya Yesus).
Dengan demikian, ada banyak kegagalan-kegagalan dalam pendekatan ini, pertama-tama, finalitas Kristus dalam keselamatan, diperlunak hingga sekedar pengaruh saja. Kedua, konsep keselamatan universal, meletakkan kekristenan sebagai sesuatu yang setara di dalam keselamatan yang menuju pada satu kesatuan di dalam Kristus. Ketiga, konsep Kristen anonim menyiratkan bahwa pendekatan ini lebih condong menegaskan gagasan kaum pluralisme, sekaligus dibumbui dengan konsep “Kristus” yang sudah tidak alkitabiah lagi.

Soteriologis: Sinkritisme Keselamatan
Sinkritisme merupakan suatu tindakan pemaksaan mencampurkan suatu hal atau kepercayaan tertentu yang sebenarnya merupakan hal yang tidak bisa dicampurkan. Pendekatan inklusifisme telah jatuh pada hal yang seperti ini. Konsep Kekristenan adalah penggenapan Agama-agama lain atau jalan keselamatan dari agama-agama, menegaskan akan sikap sinkritisme kaum inklusif di dalam mencapai suatu keharmonisan dengan ajaran-ajaran agama lain.  Hingga pada akhirnya memunculkan sikap “merelatifkan keunikan jalan keselamatan” di dalam ajaran Kekristenan, dalam hal ini kaum inklusif memandang bahwa apapun kebaikan dan kebenaran yang terdapat diantara agama-agama harus dianggap oleh gereja sebagai persiapan untuk menerima Injil, agama-agama hanya bisa mencapai pemenuhannya di dalam Kristus.
Sinkritisme ajaran keselamatan itu, lebih jauh bisa teramati melalui usaha dialog yang tulus yang mendasarinya dengan keterbukaan keselamatan bagi agama-agama diluar kekristenan, bahkan ada kemungkinan bagi orang Kristen untuk belajar atau diisi oleh ajaran kebaikan atau kebenaran-kebenaran dari ajaran agama-agama lainya. Kemudian, ada suatu kecenderungan lain yang timbul yaitu merendahkan otoritas Alkitab, yaitu dengan mendorong umat Tuhan belajar mengenai kebaikan di dalam agama lain sebagai “penyempurna” bagi pemahaman Kristiani akan makna kebaikan, kebenaran secara lebih mendalam. Hal ini terlihat di dalam praktek dialog yang dilakukan yang memahami ajaran agama lain sebagai “harta yang melimpah bagi Injil”. Keunikan keselamatan di dalam agama wahyu [Kristen] diturunkan pada tataran kebaikan dan kebenaran ajaran agama-agama lain. Sehingga ukuran seseorang selamat atau tidaknya ditenntukan oleh kebaikan dan kebenaran ajarannya agamanya diperhitungkan benar karena memiliki kesamaan dengan ajaran kekristenan artinya, di dalam ajaran agama lain juga, pengaruh kebenaran Kristus secara implisit tersalurkan, sehingga walaupun orang yang belum menjadi Kristen, ada kemungkinan untuk diselamatkan.
Motivasi kristenisasi juga menjadi sautu kecenderungan yang mungkin timbul, dengan memahami konsep keselamatan Allah itu hanya di tataran imanensi Allah, sehingga Allah dianggap bisa saja berubah pikiran sewaktu-waktu, jika pemeluk agama lain bertobat dari agamanya semula dan mau memeluk agama Kristen. Dalam hal ini, Lesslei Newbigin, setuju pemikiran Rahner yang menekankan bahwa adalah tugas teolog-teolog Kristen untuk mengatakan kepada penganut yang setia dari agama bukan Kristen bahwa ia dapat diselamatkan tetapi ia akan mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk diselamatkan itu bila menjadi seorang Kristen dan tidak ada kesempatan sama sekali bila ia menolak undangan ini. Jadi, keselamatan itu dipahami sebagai usaha manusia mendapatkannya dengan cara mengubah agamanya kenjadi Kristen, maka ada kemungkinan Ia diterima kembali oleh Tuhan sebagai umat-Nya.
Sebenarnya Konsep Karl Rahner mengenai Kristen-Kristen anonim, merupakan cita-cita yang mulia yang ia lakukan dengan tujuan mencoba menampilkan kekristenan yang simpatik kepada agama-agama lain. Tetapi masalah dari pendekatan ini adalah pendekatan ini telah mereduksi, bersifat kompromistik, dan membuka peluang sinkretisme. Sehingga walaupun baik, namun tetap tidak benar menurut sistem kepercayaan Kristen.

KESIMPULAN
            Pendekatan inklusivisme, merupakan suatu pendekatan yang bertujuan mulia, yaitu demi mencapai keharmonisan diantara agama-agama, dalam hal ini berusaha meminimalisasi kemungkinan timbulnya konflik yang lebih parah akibat kefanatikan dari tiap agama-agama. Pendekatan ini memang ada baiknya dikerjakan ketika berhadapan dengan kemajemukan di dalam hal keberagamaan. Kaum inklusiv mempunyai keyakinan dasar dalam pendekatannya yaitu pada kasih Allah yang universal yang mau menjangkau semua orang, yang berarti Allah inngin kmenyelamatkan semua manusia. Penekanan akan peranan Kristus dalam hal keselamatan hanya dipahami sebagai sesuatu yang final diperlukan, namun itu juga bisa didapatkan di dalam agama-agama lain. Sehingga memunculkan konsep, “agama-agama dibawah pengaruh Kristus”.
            Pendekatan ini jelas merupakan pendekatan yang terlaku kompromistik di dalam ajaran dan praktek dialog yang sering dilakukan oleh kaum inklusif. Finalitas Kristus “digadaikan” dan bahkan keunikannya “diperlunak” dengan cara ditafsirkan ulang sebagai keunikan bagi keselamatan universal. Kristus tidak lagi menjadi satu-satunya jalan keselamatan, melainkan agama-agama lain mampu menyelamatkan juga ketika pengaruh penyelamatan Kristus berlangsung bagi mereka melalaui pekerjaan Kristus Kosmik. Jadi, masalah utama dari pendekatan ini adalah Kristologi yang direlatifkan dan mengakibatkan terjadinya sinkritisme jalan bagi keselamatan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESTU ORANGTUA DALAM PERNIKAHAN ANAK: HARUSKAH ?

           Pernikahan dalam kekristenan merupakan suatu hal yang sangat sakral dan dijunjung tinggi sebagai komitmen “dipersatukan” di hadapan Tuhan seumur hidup . Pernikahan haruslah penuh dengan keindahan, kekudusan dan kesatuan hati diantara kedua pribadi yang dipersatukan dalam ikatan pernikahan, oleh sebab itu Tuhan menginginkan agar pernikahan itu haruslah pernikahan yang sungguh-sungguh merupakan komitmen (bukan coba-coba/paksaan), dan harus dijalani seumur hidup. Hanya maut yang dapat memisahkan ikatan yang sudah dibentuk tersebut.             Namun, s eringkali di dalam proses untuk mengikatkan dua pribadi menjadi satu yang dilandasi oleh kasih dan komitmen tersebut, mengalami berbagai tantangan dan hambatan. Salah-satu hal yang menjadi pergumulan di dalam ikatan ini adalah ketiadaan “restu/persetujuan orangtua” terhadap ikatan bersatunya kedua hati dalam satu ikatan cinta. Seringkali ada banyak orangtua yang tidak mendukung komitmen pe

Konsep Penyembahan Dalam Roh dan Kebenaran

I.                    Pendahuluan Ibadah Kristiani tidaklah lepas dari suatu yang dinamakan penyembahan kepada Allah .  Bahkan setiap orang percaya seharusnya mempunyai gaya hidup sebagai “penyembah -penyembah ” bagi Allah. D an , karena penyembahan adalah gaya hidup orang percaya, maka memuliakan Allah pastilah menjadi tujuan penyembahan yang disadari, terus menerus, berarti, dan kekal. Dalam pelaksanaannya, penyembahan tidaklah dibatasi oleh masalah tempat, jenis, waktu atau hal apapun, sebab pada esensinya, Pribadi yang disembah adalah pribadi dalam Roh, yang tidak bisa batasi oleh apapun di luar diri-Nya. Kita bisa menyembah Allah dimanapun kita berada dan dalam segala aspek hidup dan pekerjaan kita sehari-hari. Oleh sebab itu, a papun yang kita lakukan mulai dengan kegiatan-kegiatan biasa seperti makan dan minum, haruslah dilakukan untuk kemuliaan Allah , itulah penyembahan sebagai gaya hidup . K emudian dalam penyembahan itu sendiri , Kesad

ANALISA PERKATAAN YESUS: “ANGKATAN INI TIDAK AKAN BERLALU SEBELUM SEMUANYA ITU TERJADI”

Nubuatan Tuhan Yesus dalam Markus 13:30; Mat 24:34; dan Lukas 21:32, mengenai “kapan” kedatangan-Nya untuk kedua kali merupakan nubuatan ayat yang kontroversial, sehingga menimbulkan beberapa penafsiran yang berbeda-beda tergantung pada pola pemahaman orang-orang yang menafsirkannya. Penafsiran terhadap nubuatan ini terus menjadi persoalan yang sering diperdebatkan dengan tujuan untuk mencapai kebenaran yang mendekati pada kebenaran yang alk i tabiah. Usaha ini juga bahkan sampai pada keekstriman pemahaman yang menafsirkan lebih jauh, dengan menghakimi bahwa 'Yesus telah berbuat satu kesalahan besar dalam memprediksi waktu parousia . Di satu sisi juga dengan jelas Yesus pernah mengatakan bahwa Dia sendiri, malaikat pun tidak tahu kapan waktunya Dia akan datang kembali, hanya Bapa yang tahu. Apakah sesungguhnya yang dimaksud oleh Yesus terhadap nubuatannya itu? ANALISA KONTEKS MARKUS 13:30; MATIUS 24:34; LUKAS 21:32 Nubuatan ini merupakan kh