Langsung ke konten utama

RESTU ORANGTUA DALAM PERNIKAHAN ANAK: HARUSKAH ?


           Pernikahan dalam kekristenan merupakan suatu hal yang sangat sakral dan dijunjung tinggi sebagai komitmen “dipersatukan” di hadapan Tuhan seumur hidup. Pernikahan haruslah penuh dengan keindahan, kekudusan dan kesatuan hati diantara kedua pribadi yang dipersatukan dalam ikatan pernikahan, oleh sebab itu Tuhan menginginkan agar pernikahan itu haruslah pernikahan yang sungguh-sungguh merupakan komitmen (bukan coba-coba/paksaan), dan harus dijalani seumur hidup. Hanya maut yang dapat memisahkan ikatan yang sudah dibentuk tersebut.
            Namun, seringkali di dalam proses untuk mengikatkan dua pribadi menjadi satu yang dilandasi oleh kasih dan komitmen tersebut, mengalami berbagai tantangan dan hambatan. Salah-satu hal yang menjadi pergumulan di dalam ikatan ini adalah ketiadaan “restu/persetujuan orangtua” terhadap ikatan bersatunya kedua hati dalam satu ikatan cinta. Seringkali ada banyak orangtua yang tidak mendukung komitmen pernikahan anak-anak mereka dengan dilandasi oleh pikiran-pikiran yang melatar belakangi keputusan orangtua. Secara umum, orangtua tidak setuju karena penilaian terhadap calon pasangan yang tidak baik secara etika, moral, dan hubungan dengan Tuhan. Penyebab lainnya bisa disebabkan oleh gengsi orangtua, pengalaman masa lalu dengan keluarga pasangan anak mereka, atau mungkin karena orangtua sudah duluan memiliki pasangan yang hendak dijodohkan pada anak mereka.
            Masalah inilah yang seringkali menjadi tantangan dan kebingungan diantara pasangan kaum muda yang hendak lebih serius menjalami hubungan mereka dalam ikatan pernikahan. Maka, di dalanm kekristenan, sejauhmana peran orangtua di dalam kehidupan penikahan anak mereka, dan apa solusi sederhana bagi pasangan yang menghadapi masalah seperti ini.

KONSEP DASAR PERNIKAHAN KRISTIANI
Ikatan pernikahan adalah ikatan yang begitu sakral dan dirancang Tuhan bagi kebaikan hidup setiap manusia yang dikasihi-Nya. Ia ingin manusia hidup dalam ikatan pernikahan yang telah ia nyatakan bagi setiap umat-Nya. Paul Stevens menjelaskannya demikian: “Covenant marriage is our Maker’s design for our living, and great giving.” Perjanjian itu adalah komitrmen yang bersifat unconditional, yang mencerminkan supremasi kristus dalam dalam kehidupan keluarga. Seperti Allah mengikatkan dirinya bagi umat-Nya dalam ikatan perjanjian yang memperbolehkan mereka berada dihadapan-Nya sebagai orang yang dikasihi, demikian pula hendaknya ikatan pernikahan itu dipahami.
Di dalam pernikahan itu ada yang dinamakan dengan komitmen total, yang berarti pasangan itu menyerahkan diri secara menyeluruh dalam hubungan pernikahan. Komitmen total inilah yang menguatkan sebuah keluarga tetap kuat di tengah pergumulan yang dihadapi kedepannya. Vivian A. Soesilo, mengatakan demikian,”Pernikahan yang berhasil merupakan berkat Tuhan dan usaha keras dari suami-istri. Pernikahan yang sukses tidak dapat datang begitu saja, tetapi memerlukan campur tangan Tuhan dan kemauan keras dari suami-istri atau pasangan untuk meraih keberhasilan itu.” Maka, bisa dikatakan bahwa tidak ada pernikahan yang tanpa masalah, tetapi usaha, totalitas komitmen itulah yang menjadikan keluarga tetap indah dan kokoh.
Kemudian, ikatan pernikahan haruslah dipahami bahwa itu merupakan satu komitmen yang tulus, murni dan berasal dari hati yang mengasihi. Pernikahan tidak dilandaskan pada pemaksaan, keterpaksaan, tetapi harus bersumber dari hari yang saling mencintai dan berkomitmen untuk membentuk keluarga. “Pengaruh luar” tidak bisa menjadi penentu relasi ini tetap berlanjut atau tidak. Seharusnya di dalam pernikahan yang harus dicari adalah kehendak Tuhan di atas segala pertimbangan yang ada. Maka, keluarga itu tentunya pasti akan mengalami sukacita sebab itu merupakan komitmen untuk bersama dan dipenuhi dengan berkat dan pimpinan Tuhan di dalamnya.

PERNIKAHAN ANAK DAN RESTU ORANGTUA
A.    Sebab Akibat Ketiadaan Restu Orangtua Terhadap Komitmen Pernikahan Anak
Sungguh suatu keindahan jika suatu pasangan ingin menjadikan hubungan mereka masuk tahap yang lebih serius dengan dukungan penuh dari orangtua mereka. Tetapi, ada kalanya orangtua begitu bertolakbelakang responnya dengan kimitmen anak mereka dalam hal memilih pasangan hidup. Ada orangtua yang melarang, marah ketika anak mereka menginginkan menikah dengan orang yang tidak seturut dengan keinginan mereka. Maka ini seringkali menjadi penghalang bagi hubungan anak mereka untuk mengikatkan diri dalam pernikahan. Ketidaksetujuan orangtua ini biasanya bersumber dari ketakutan-ketakutan dan keinginan-keinginan agar kehidupan kelaurga anaknya menjadi lebih baik, bukan sebaliknya. Keinginan inilah yang membatasi dan bahkan merusakkan komitmen yang sudah dibangun selama beberapa waktu lamanya.
Akibat dari penolakkan atau ketidaksetujuan orangtua ini, seringkali menjadikan anak tidak mampu berbuat apa-apa terhadap komitmennya pada pasangannya karena rasa hormat dan ketakutan pada otoritas orangtua. Anak banyak pasangan yang memilih untuk memutuskan atau mengakhiri hubungan mereka demi mempertahankan rasa hormat dan ketaatan pada orangtua. Maka, melalui hal inilah patut dipertanyakan: seberapa besarkah orangtua berpengaruh terhadap keputusan anak dalam hal pernikahan? Sejauhmana dan bagaimana selayaknya anak menghormati orangtua mereka?

B.     Restu Orang Tua Dalam Pernikahan?
Pemahaman awal yang harus dipahami bahwa orangtua adalah pribadi yang harus dihormati dan dijunjung tinggi termasuk di dalam otoritasnya dalam keluarga, sebab orangtua adalah pribadi yang mewakili Tuhan di bumi ini; oleh karena itu kita harus menaati perintah atau sikap dari orangtua, termasuk dalam hal pemilihan pasangan hidup. Bagi sebagian orang, muncul suatu pemahaman praktis bahwa pernikahan yang tidak direstui orangtua sudah pasti tidak akan diberkati Tuhan. Tentunya ini adalah pemahaman yang sangat sederhana dan belum direfleksikan secara mendalam, sebab belum tentu demikian kenyataannya. Namun walaupun demikian, hal yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah sejauhmana otoritas orangtua dan ketundukan/kepatuhan anak terhadap orangtua dalam hal memilih pasangan hidup? Bagaimana Firman Allah mengajarkan kedua sisi (orangtua dan anak) di dalam relasi dan ketundukan dalam kebenaran yang dikehendaki Allah?
Apakah Yang Alkitab Katakan Tentang Otoritas Orangtua dan Anak? Tuhan memerintahkan anak untuk menghormati orangtua. "Hormatilah ayahmu dan ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu kepadamu." Keluaran 20:12. Dibagian Alkitab lain mengajarkan bahwa Tuhan memerintahkan pemberlakuan hukuman mati kepada anak yang membangkang kepada orangtuanya. "Apabila seorang mempunyai anak laki-laki yang degil dan membangkang yang tidak mau mendengarkan perkataan ayahnya dan ibunya dan walaupun mereka menghajar dia, tidak juga ia mendengarkan mereka, maka haruslah ayahnya dan ibunya memegang dia dan membawa dia keluar kepada para tua-tua kotanya . . . dan berkata: 'Anak kami ini degil dan membangkang, ia tidak mau mendengarkan perkataan kami, ia seorang pelahap dan peminum.' Maka haruslah semua semua orang sekotanya melempari anak itu dengan batu sehingga mati. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu dan seluruh orang Israel akan mendengar dan menjadi takut." (Ulangan 21:18-2)
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah ketaatan kepada orangtua berlaku tanpa batas? Jawabannya adalah, tidak! Batas ketaatan terhadap orangtua disadari tatkala kita harus memilih kehendak Tuhan atau orangtua. Alkitab dengan jelas sekali mengatakan kehendak Tuhan harus lebih tinggi dan lebih utama di atas segala otoritas yang lain, termasuk di dalamnya kehendak orangtua. Alkitab bahkan seolah-olah mengkontraskan hal ini, "Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya . . . Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku." (Matius 10:35-37). Jadi, sikap hormat pada orangtua tetap harus dipertahankan sebab itu adalah bagian dari perintah Allah dan manusia harus hidup menurut kebenaran itu. Namun di sisi yang lain harus dipahami bahwa yang lebih penting dari semua hal ini adalah prinsip ketaatan pada kehendak Tuhan haruslah lebih tinggi dan lebih dihormati. 

Apakah kehendak orangtua untuk pasangan hidup kita juga kehendak Allah? Jawabannya, belum tentu! Sebab di dalamnya, seringkali keputusan dibalik ketidak setujuan orangtua adalah motivasi-motivasi ysang sebenarnya berasal dari keinginan dan kekuatiran yang sifatnya manusiawi seperti: ketakuatan pada ketidakharmonisan keluarga anak yang hendak dibangun kedepannya. Alasan yang lebih baik, mungkin karena orangtua mengehendaki kehidupan keluarga anaknya kedepan menjadi lebih baik dalam pandangan mereka. Namun yang pasti adalah dibalik semua keputusan pribadi dan orangtua untuk pemilihan pasangan hidup adalah apa yang seharusnnya Tuhan dalam hidup kita kita termasuk di dalamnya, siapa yang Tuhan kehendaki untuk menjadi pasangan yang seimbang dan seturut kehendak Tuhan. Itulah hal yang esensi dibalik ketundukkan dan ketidaksetujuan pada otoritas orangtua. Oleh sebab itu, ketika kehendak orangtua hanya sebatas pada keinginan dan pertimbangan manusiawi yang tidak melihat kehendak Tuhan di dalamnya, maka seharusnya seorang anak berhak menentukan keputusan sendiri dengan satu keyakinan yang mantap bahwa pilihannya merupakan kehendak Tuhan, dan ia mau berkomitmen di hadapan Tuhan untuk menjalankan seturut dengan prinsip kebenaran Allah. namun jika pendapat orangtua merupakan suara “kenabian” yang memperingatkan bahaya dan resiko ke depan berdasarkan pada pemahaman yang benar akan kehendak Tuhan, maka sebagai anak haruslah mempertimbangkannya sebagai kebaikan dan pertimbangan untuk berpikir lagi akan sikap yang telah diambil untuk melangsungkan pernikahannya. Setiap anak hendaklah menghormati dan mengasihi orangtua tanpa syarat. Ini adalah perintah Allah yang menyatukan mereka dalam hubungan sebagai anak dan orangtua.  Kolose 3:21; Ef 6:4).

C.    Prinsip Ketaatan kepada Orangtua dalam Mencari Pasangan Hidup
Sikap utama yang harus kita miliki adalah sikap menghormati orangtua. Janganlah kita mengembangkan sikap bahwa kita tidak akan mempedulikan perkataan orangtua. Tuhan membenci sikap membangkang seperti ini. Jadi, bersiaplah untuk mendengarkan masukan mereka sebab pada umumnya mereka mengenal kita dan memiliki pengalaman hidup yang panjang sehingga dapat memberi arahan yang sesuai. Berusahalah untuk melihat masalah ini secara positif dari sisi orang tua Anda, serta tidak memaksakan prinsip yang Anda pegang kepada orang lain dalam hal ini adalah orangtua. Tetap atau terus membangun hubungan yang baik dengan orangtua
Teroponglah semua hal, termasuk nasihat orangtua, dari kacamata Firman Tuhan; Pertimbangkanlah calon pasangan Anda dengan baik, terutama segala perbedaan yang ada dan kesiapan Anda untuk menghadapinya. Kristus adalah otoritas tertinggi dalam hidup orang percaya. Jadi, taatilah kehendak Tuhan, di atas kehendak orangtua.
Kebanyakan ketidaksetujuan orangtua tidak berkaitan dengan dosa, melainkan dengan kesejahteraan hidup anak. Kadang orangtua melihat hal-hal yang tidak dilihat anak. Dalam kasus seperti ini, carilah masukan dari anak-anak Tuhan lain yang memiliki kematangan rohani. Carilah pembimbing rohani yang teruji dan memiliki pandangan yang objektif dalam kehidupannya. Akan lebih baik jika pembimbing tersebut sudah menikah. Jangan sembunyikan apa pun saat berkonsultasi. Dengarkanlah dan bandingkan masukan mereka dengan nasihat orangtua. "Jikalau tidak ada pimpinan, jatuhlah bangsa, tetapi jikalau penasihat banyak, keselamatan ada." (Amsal 11:14)

KESIMPULAN
Jadi, Pernikahan adalah suatu hal yang sacral dan komitmen yang murni di hadapan Allah. maka setiap pasangan haruslah mempersiapkannya secara serius dan bertanggungjawab dalam mengambil keputusan pernikahan. Di dalam kenyataannya, keterlibatan orangtua di dalamnya tentu tidak bisa dielakkan, namun walaupun demikian, pernikahan harusnya menjadi masalah pribadi anak, karena mereka sendiri yang menjalaninya, pendapat orang tua memang perlu diperhatikan dengan sangat baik sebagai pertimbangan, namun orangtua tidaklah patut memaksakan kehendak atau larangannya hanya oleh karena masalah privasi, kedudukan, kebencian yang ada selama ini. Pernikahan harus menjadi sesuatu yang suci dan berasal dari hati kedua pribadi yang ingin di satukan dalam ikatan yang suci seumur hidup.
Apa pun alasan orang tua untuk tidak merestui hubungan sepasang kekasih, jangan dijadikan sebagai alasan untuk tidak lagi menghormati orang tuanya. Baik Anda maupun pasangan Anda, tetaplah menunjukkan rasa hormat dan sikap positif kepada mereka. Selain itu, tetaplah menjaga jalinan hubungan dan komunikasi yang baik dengan orang tua. Hal ini penting karena perbedaan pandangan yang ada mudah sekali menjadi konflik yang berkepanjangan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Penyembahan Dalam Roh dan Kebenaran

I.                    Pendahuluan Ibadah Kristiani tidaklah lepas dari suatu yang dinamakan penyembahan kepada Allah .  Bahkan setiap orang percaya seharusnya mempunyai gaya hidup sebagai “penyembah -penyembah ” bagi Allah. D an , karena penyembahan adalah gaya hidup orang percaya, maka memuliakan Allah pastilah menjadi tujuan penyembahan yang disadari, terus menerus, berarti, dan kekal. Dalam pelaksanaannya, penyembahan tidaklah dibatasi oleh masalah tempat, jenis, waktu atau hal apapun, sebab pada esensinya, Pribadi yang disembah adalah pribadi dalam Roh, yang tidak bisa batasi oleh apapun di luar diri-Nya. Kita bisa menyembah Allah dimanapun kita berada dan dalam segala aspek hidup dan pekerjaan kita sehari-hari. Oleh sebab itu, a papun yang kita lakukan mulai dengan kegiatan-kegiatan biasa seperti makan dan minum, haruslah dilakukan untuk kemuliaan Allah , itulah penyembahan sebagai gaya hidup . K emudian dalam penyembahan itu sendiri , Kesad

ANALISA PERKATAAN YESUS: “ANGKATAN INI TIDAK AKAN BERLALU SEBELUM SEMUANYA ITU TERJADI”

Nubuatan Tuhan Yesus dalam Markus 13:30; Mat 24:34; dan Lukas 21:32, mengenai “kapan” kedatangan-Nya untuk kedua kali merupakan nubuatan ayat yang kontroversial, sehingga menimbulkan beberapa penafsiran yang berbeda-beda tergantung pada pola pemahaman orang-orang yang menafsirkannya. Penafsiran terhadap nubuatan ini terus menjadi persoalan yang sering diperdebatkan dengan tujuan untuk mencapai kebenaran yang mendekati pada kebenaran yang alk i tabiah. Usaha ini juga bahkan sampai pada keekstriman pemahaman yang menafsirkan lebih jauh, dengan menghakimi bahwa 'Yesus telah berbuat satu kesalahan besar dalam memprediksi waktu parousia . Di satu sisi juga dengan jelas Yesus pernah mengatakan bahwa Dia sendiri, malaikat pun tidak tahu kapan waktunya Dia akan datang kembali, hanya Bapa yang tahu. Apakah sesungguhnya yang dimaksud oleh Yesus terhadap nubuatannya itu? ANALISA KONTEKS MARKUS 13:30; MATIUS 24:34; LUKAS 21:32 Nubuatan ini merupakan kh