Seandainya pemerintahan suatu Negara--misalkan saja Negara Indonesia dalam kondisi Kritis--memutuskan untuk perang melawan “musuh” negara demi keutuhan negara tersebut yang terancam oleh kekuatan politik atau senjata, baik dari negara lain ataupun dari dalam negeri, adakah perang tersebut dapat dibenarkan ('justified')? Pertanyaan ini bukan sedang diarahkan kepada perang tertentu, entah yang pernah atau sedang terjadi, tetapi lebih sebagai pertanyaan yang “bersifat prinsip”. Artinya, berdasarkan prinsip etika Kristen, adakah dasar-dasar pertimbangan untuk membenarkan perang atau penggunaan kekerasan demi mencapai suatu sasaran kemanusiaan yang lebih mulia? Sebagai orang Kristen yang lekat dengan prinsip kasih, tentu kita bukanlah orang-orang yang terpanggil untuk mengobarkan semangat perang. Namun demikian, di tengah dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa di mana kekerasan merupakan isu moral yang tidak pernah dapat dihindari, sering kali kita harus mengakui bahwa perang atau penggunaan kekerasan demi alasan kemanusiaan dengan segala etika yang terkandung di dalamnya, adalah pilihan yang harus kita pertimbangkan untuk dipikirkan lebih mendalam.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini, terlebih dahulu, kita perlu belajar suatu pertimbangan lain yaitu dari sejarah gereja. Dalam sejarahnya, sebenarnya ada dua posisi pandangan tentang isu ini yang kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan menurut firman Tuhan serta patut kita pertimbangkan, yang dikenal dengan istilah: 'pacifism' dan 'just war theory'.
Perdebatan antara 'pacifism' dan 'just war theory' berkisar di sekitar kategori hubungan antara kasih dan keadilan. 'Pacifism' pada hakikatnya adalah pandangan yang berpendapat bahwa berdasarkan prinsip iman Kristen, tidak ada satu pun perang atau penggunaan kekerasan yang dapat dibenarkan, sekalipun dengan alasan kemanusiaan. Setiap orang Kristen harus secara mutlak menolak isu tentang perang, bahkan sebagian pendukung kelompok ini menegaskan bahwa penolakan tersebut termasuk dalam profesi sebagai prajurit. Sebaliknya, setiap orang yang sudah ditebus oleh Kristus harus sanggup memancarkan kasih Kristus di dalam situasi dan kondisi apa pun. Bagi kelompok ini, menganggap bahwa etika PB jelas mengajarkan prinsip pacifism. Etika PL yang menekankan perang, penggunaan kekerasan dan pembalasan sekarang telah digantikan oleh model hamba yang menderita yang telah dicontohkan oleh Kristus sendiri; Sedangkan pandangan kedua, yaitu 'just war theory', percaya bahwa adanya perang atau penggunaan kekerasan ialah demi alasan kemanusiaan yang dapat dibenarkan. Sekalipun karakter utama setiap orang Kristen adalah kasih, namun menurut pendukung teori ini pelaksanaan kasih di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa ini tidak dapat dilepaskan dari keadilan (justice) yang adakalanya mengandung aspek kekerasan. Mereka berpendapat bahwa perang yang didasarkan bukan pada motivasi kenikmatan terhadap kekerasan itu sendiri, tetapi karena ketaatan kepada Allah dan penghukuman terhadap pelaku kejahatan demi mencegah dosa yang lebih besar, merupakan "an act of love."
Strategi pacifism, jelas mengandung risiko dan bahaya. Di satu pihak, dengan hidup berbeda secara radikal dari dunia umat Kristen harus selalu siap untuk terus menjadi kelompok marginal. Di lain pihak, prinsip semacam ini barangkali hanya berbeda selangkah dari bunuh diri, sebab apa pun yang terjadi orang Kristen tidak boleh memilih jalur politik atau penggunaan kekerasan demi membela diri ataupun orang lain. Sebaliknya, pandangan ‘just war theory’, ada kecenderungan untuk membuka peluang bagi penggunaan kekerasan.
Kemudian, penekanan pada kasih Allah secara berlebihan dan mengabaikan keadilan-Nya sama bahayanya dengan menekankan keadilan Allah secara berlebihan dan mengabaikan kasih-Nya. Membiarkan dosa dan ketidakadilan tanpa usaha mencegahnya, sama saja dengan kita menyetujui perbuatan dosa yang mendukakan hati Allah. Demikian pula, penekanan yang berlebihan pada hukum-hukum keadilan tanpa mengenal prinsip kasih akan menyebabkan kita jatuh pada legalisme mutlak yang menghambat hubungan yang harmonis antarsesama.
Lalu apa kata Alkitab? Alkitab mengajarkan bahwa panggilan setiap umat manusia, khususnya orang-orang percaya, adalah menegakkan kasih dan keadilan di dalam proporsi yang semestinya. Hal ini didasarkan atas sikap Allah sendiri kepada umat manusia; sekalipun Allah adalah Allah yang mahakasih, Ia juga maha adil dan merupakan "api yang menghanguskan" bagi mereka yang terus hidup di dalam kefasikan (bdk. Ul 4:24; Ibr 12:29). Dalam Alkitab, Allah memakai perang untuk mencegah atau menghukum dosa, menegakkan keadilan-Nya dan mencegah 'chaos', atau untuk mencapai damai dan keteraturan bagi umat- Nya maupun bumi ciptaan-Nya (lih. a.l. Kej 6:7; 15:13-16, Bil 33:50-56; Yos 1:1-9). Ada indikasi yang kuat di PB bahwa perang tetap merupakan sarana sosial yan dapat dipakai untuk berurusan dengan dosa, ketidakadilan dan kekacauan. Pertama, melalui wewenang yang Allah "titipkan" kepada pemerintah (Rm 13:1 7 bdk. Ams 8:15-16; Yer 27:6-12); kedua, melalui penerimaan jabatan prajurit di dalam komunitas orang-orang percaya (Mat 8:5-13; Luk 3:12-14; Kis 10:22).
Prinsip kasih dan keadilan, dengan kata lain, memberi peluang bagi adanya kemungkinan perang yang bisa dibenarkan. Namun demikian, pada saat yang bersamaan, kompleksitas hubungan yang paradoks antara kasih dan keadilan menyingkapkan bahwa untuk sampai pada suatu keyakinan bahwa perang adalah pilihan yang adil merupakan hal yang sangat sulit, kalau bukan mustahil. Akan tetapi, paling tidak melalui pertimbangan ini umat Kristen memiliki dasar kebenaran untuk memutuskan sikap. Sekalipun pada dasarnya posisi 'just war theory' lebih dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara hermeneutik dan teologis, saya tetap melihat bahwa mestinya kedua posisi ini tidak dipertentangkan secara tajam. Umat Kristen yang menerima paham 'pacifism' adalah orang-orang yang secara aktif mengusahakan kedamaian dunia dengan cara menolak sama sekali aspek "violence" termasuk profesi-profesi tertentu, seperti prajurit, yang sifatnya membuka peluang bagi penggunaan kekerasan. Namun sejauh mereka adalah orang-orang yang berangkat dari asumsi "damai", maka pada hakikatnya 'pacifism' tidak bertentangan dengan 'just war theory'. Orang-orang yang mempercayai adanya perang yang dapat dibenarkan, asumsi dasarnya bukan "kekerasan" atau "peperangan," tetapi juga "kedamaian." Seseorang yang menerima panggilan sebagai seorang prajurit, motivasi utamanya bukanlah "perang," tetapi kedamaian dan keteraturan. Oleh sebab itu, yang harusnya jadi pertimbangan adalah pada keseimbangan penekanan antara kasih dan keadilan.
Jadi, masalah kebijakan perang dari pemerintah, secara etika kristiani harus tetap melihatnya berdasar pada konsep alkitabiah. Sejauh perang berangkat dari motivasi atau asumsi damai, dan keteraturan bukan karena alasan kekerasan, maka masyarakat seharusnya mendukung kebijakan ini. Sebab pelaksanaan kasih Allah, tidak bisa dipisahkan dari keadilan. Dan keadilan itu bisa memakai cara kebijakan perang dari pemerintah yang dilandasi pada motivasi yang benar yaitu kedamaian, keteraturan, sebagai wujud dari ketaatan pada Allah.
Komentar