Langsung ke konten utama

Evaluasi Terhadap Konsep God’s Foreknowledge Dalam Pandangan Open Theisme

       Doktrin tentang Allah merupakan suatu doktrin yang begitu sulit untuk disistematiskan di dalam proses berpikir manusia. Manusia di dalam keterbatasannya seringkali berusaha untuk memahami Allah yang kekal itu di dalam pikiran manusia yang sangat sempit dan terbatas, sehingga seringkali beberapa teolog jatuh pada satu kesimpulan yang tidak konsisten, tidak koheren, dan tidak koresponden dan bahkan bertentangan dengan natur dan esensi dari Allah menurut pewahyuan-Nya di dalam Alkitab.
       Salah satu atribut Allah yang mendasar yang sering diperdebatkan di dalam dunia teologi adalah mengenai ‘God’s foreknownledge’. Sebagian teolog berusaha mencari titik temu atau penyelarasan antara foreknowledge Allah dan fenomena yang dirasakan di dunia ini (dalam diri manusia). Seringkali usaha mengharmonisasikan doktrin ini, dikerjakan dengan cara menciptakan Allah di dalam image manusia yang terbatas. Pandangan open teisme merupakan salah satu pandangan yang berusaha memahami pra-pengetahuan Allah dengan berusaha menyelaraskan antara kedaulatan Allah di dalam kekekalan-Nya dengan peristiwa yang dialami manusia di bumi ini, khususnya beberapa peristiwa yang diajarakan dalam Alkitab. Namun akhirnya open teisme sendiri jatuh pada kesimpulan yang lebih memperhatikan kemanusiaan daripada kedaulatan Allah. Berdasarkan hal inilah penulis akan berusaha menganalisa konsep dan gagasan berpikir dari Open teisme tentang God’s Foreknowledge, kemudian memberikan evaluasi sekaligus sebagai afirmasi kepercayaan Injili mengenai doktrin God’s foreklnowledge.

II. Open Theisme: Foreknowledge of God
      Pandangan Open Theism adalah sebuah pandangan teologi yang berkembang di dalam tubuh evangelical dan post-evangelical protestan Kristiani sebagai respon atau penolakkan terhadap “ide kepastian” di dalam kekristenan yang mengasumsikan bahwa sebagian doktrin teisme-klasik telah direlasikan secara sintesis antara filsafat Yunani dan teologi Kristen. Secara umum, bagi mereka tidak sepenuhnya meneriman ide-ide yang terdapat dalam teisme klasik tentang Allah yang “immutable”, “impassible”, dan “timeless”; ide bahwa Allah telah menentukan masa depan, dan kemanusiaan tidak punya kebebasan (libertarian free will) atau jika ia bebas, itu bukan kebebasan yang terlepas dari tindakan kehendak Allah.
       Bagi Open teisme atribut-atribut Allah seperti ini tidak termasuk dalam pemahaman akan Allah secara biblical dan bahkan bertentangan dengan kepribadian-Nya. Bagi Sanders, salah seorang tokoh Open teisme, menyatakan bahwa ide klasik tentang God’s Foreknowledge adalah pinjaman dari pemikiran Yunani kuno. Dalam hal ini, Richard Rice, mendukung pendapat ini dan bahkan mempertegasnya dengan menjelaskan bahwa Ide Allah teisme klasik bagi mereka adalah Allah yang statis yang diadobsi dari pemikiran Yunani Kuno. Bagi Rice, seharusnya Allah yang sesungguhnya adalah Allah yang dinamis dalam interaksi-Nya dengan manusia. Maka sebagai akibatnya, peristiwa di dalam sejarah bukanlah hasil dari tindakan Allah semata. Kehendak Allah bukanlah yang ultimat dalam menjelaskan segala sesuatu yang terjadi. William Hasker menjelaskanya lebih jauh bahwa filosofi neo-platonisme amat mempengaruhi secara langsung teologia tradisional abad pertengahan, termasuk di dalam pemahaman klasik mengenai Allah. Jadi, ide teisme klasik bagi mereka setidaknya tidak murni ajaran alkitab melainkan terpengaruh oleh budaya dan filsafat Yunani kuno.
       Salah satu tokoh open theisme lainnya yaitu Gregory A. Boyd, menolak konsep teisme-klasik, berawal dari pergumulan berupa penolakkannya terhadap pandangan teistik-klasik mengenai pra-pengetahuan Allah dan providensi Allah sejak kekekalan-Nya terhadap ciptaan-Nya. Boyd dalam pendahuluan bukunya, God of the Possible, mengangkat masalah ini dengan memunculkan beberapa pertanyaan mendasar, misalnya: “If every choice you’re ever made was certain an eternity before you made it, were you really free when you made each choice? Could you have chosen differently if it was eternally certain you’d make the choice you did?” ( Gregory Boyd, mengambil beberapa contoh kasus untuk memperguat argumetasinya, seperti kasus Adolf Hitler yang membunuh 6 juga orang Yahudi. Ia berpendapat demikian, jika Allah memang mengetahui sebelumnya mengapa Dia berdiam dan menciptakan manusia seperti Hitler? Contoh lainnya, adalah jika seseorang mempunyai anjing gila dan membahayakan orang lain, orang itu pasti akan memukulnya, nah!, bukankah seseorang itu harus bertanggungjawab dengan perilaku anjing miliknya itu? Maka, berdasarkan hal ini kemudian Boyd menyimpulkan demikian, “jika Allah benar, berdaulat dan sempurna dalam pengetahuan-Nya, bagaimana mungkin Ia tidak bertanggungjawab terhadap perilaku kejahatan manusia yang Ia biarkan ada di bumi ini? Maka, oleh karena Allah tidak mampu menanganinya, sesungguhnya Allah tidak punyak kuasa mutlak terhadap diri manusia, bahkan Ia tidak mengetahui masa depan sebab Hitler bertindak begitu bejat tetapi Allah tidak punya cukup kemampuan untuk membatasinya atau bahkan Allah tidak tahu sesungguhnya masa depan termasuk apa yang ada di dalam pikiran Hitler.) Pertanyaannya yang paling krusial tentang pandangan klasik mengenai foreknownledge Allah adalah: Jika masa depan (future) sudah diketahui Allah secara pasti di dalam pikirannya sejak kekekalan, mengapa Alkitab sering mengulangi penggambaran bahwa Allah mengubah pemikiran-Nya (changing his mind)? Mengapa Alkitab sering mengatakan bahwa Allah mengubah rencana-Nya? Membatalkan nubuatan dan sering membicarakan masa depan sebagai kemungkinan “maybe”, a “perhaps” or a “possibility”? Mengapa Allah mengekspresikan ketidaktahuan-Nya akan masa depan? Dan kandang-kadang Allah terlihat mendapat masukan dari keputusan umat-Nya? Jadi, bagaimana kita memulihkan atau memperdamaikan (reconcile) hal ini ketika kita berbicara tentang Allah? Inilah sumber pergumulan dan pemecahan masalah yang ditawarkan olehnya di dalam pandangan open theisme. Berikut ini beberapa pandangan mendasar dari Konsep Open Theisme mengenai God’s Foreknowledge.

2.1 Allah “Tahu Segala Sesuatu” Namun Tidak Menetapkan Segala Sesuatu
      Gregory A. Boyd mengklaim bahwa “open teisme” adalah sebuah istilah yang kurang tepat semenjak posisi itu ditujukan lebih tentang natur dari waktu dan realitas daripada tentang diri Allah sendiri. Berdasarkan hal ini, Boyd menjelaskan bahwa dapat dikatakan bahwa open teisme sebenarnya tidak percaya bahwa Allah tidak tahu masa depan, tetapi lebih daripada itu bahwa masa depan tidaklah eksis untuk diketahui siapapun. “This is to say that open theists do not believe that God doesn't know the future, but rather that the future doesn't exist to be known by anyone.” Bagi Boyd secara sederhananya mengatakan bahwa masa depan belum terjadi sebelumnya dan tidak mampu diketahui siapapun secara common sense “the future simply hasn't happened yet, not for anyone, and thus is unknowable in the common sense.” Maka dapat dikatakan bahwa Allah tidak tahu masa depan atau bisa dikatakan bahwa Allah tidak tahu tentang “square circles” di dalam dunia ini. Maka dengan pemahaman ini, secara teknikal kemudian dilabelkan sebagai pandangan "Open Futurism".
      Lebih jauh, Boyd menyatakan bahwa setelah ia melakukan penelitian selama 17 tahun yang lalu secara biblical dan teologi, ia sampai pada kesimpulan bahwa ada sesuatu yang keliru dalam pemahaman klasik tentang foreknowledge ilahi. Boyd menyimpulkan pemikirannya tentang foreknownledge Allah dengan menyatakan demikian,
I Came to believe that the future was, indeed, partly determined and foreknown by God, but also partly open and known by God as such. In short, I embranced what has come to be labeled the ‘open view’of God.

     Boyd menjelaskan bahwa padangan mengenai God’s foreklowledge sebenarnya lebih mengarah pada mengetahui atau tidak mampu mengetahui. Artinya bahwa masa depan pasti diketahui Allah, tetapi Allah secara voluntir membatasi pengetahuan-Nya pada pilihan kehendak bebas manusia supaya manusia benar-benar bebas. “God voluntarily limits His knowledge of free will choices so that they can remain truly free.” Faham open theisme menyatakan bahwa masa depan merupakan suatu keberadaan yang tidak punya eksistensi (the future, being non existent). Itu tidak mungkin mampu diketahui, Allah pun tidak mengetahuinya. Lebih ekstrimnya dikatakan bahwa Allah tidak mengontrol atau tidak menentukan dan tidak memiliki pra-pengetahuan secara pasti apa yang akan terjadi ke depan. Allah mengetahui masa depan namun hanya dalam istilah “posibility”. Gregory Boyd, mengatakan demikian,
"Much of it [the future], open theists will concede, is settled ahead of time, either by God's predestining will or by existing earthly causes, but it is not exhaustively settled ahead of time. To whatever degree the future is yet open to be decided by free agents, it is unsettled."
      Tetapi, open theism tidak mengatakan bahwa Allah lemah atau tidak berkuasa. Mereka mengatakan bahwa Allah punya capabilitas untuk memprediksi dan menentukan secara pasti kejadian-kejadian masa depan sebab Ia memiliki capable untuk bekerja di dalam dunia dan membawa setiap kejadian-kejadian untuk terlewati ketika waktu itu dibutuhkan.
Lebih jauh, open theisme tidak menyangkali omniscience of God. Mereka, seperti teologi klasik mengakui bahwa memang Allah memiliki segala pengetahuan (all-knowing). Tetapi mereka berbeda di dalam hal bahwa Allah bagi mereka hanya dapat mengetahui yang pernah terjadi dulu dan sekarang (present), dan sejak masa depan belum terjadi, itu tidak dapat diketahui oleh Allah secara lengkap (imperfectly) atau mendalam. Malahan, Allah hanya mengetahui secara pasti apa yang terjadi pada saat ini termasuk kecenderungan, kerinduan, pemikiran dan penghadapan semua manusia.
      Sebenarnya esensi dari isu yang dimasalahkan adalah bukan pada natur dari realitas yang Allah ketahui. Open theisme percaya bahwa Allah mengetahui secara sempurna, namun secara spesifiknya Allah tidak tahu pasti. Allah tidak mengontrol segala sesuatu yang terjadi. Dia menentukan beberapa, namun tidak semua akan masa depan. Allah mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi di masa yang akan datang berdasarkan ketetapan-Nya, namun beberapa pengetahuan Allah secara natur akan masa depan tidaklah pasti, bahkan tidak diketahui Allah secara pasti. Disini terlihat jelas bahwa open theisme mengurangi atau bahkan membatasi kemahatahuan Allah sampai pada tahap tidakmahatahu lagi. Kemudian lebih jauh, jatuh pada kesimpulan, oleh karena Allah tidak tahu secara rinci akan peristiwa di masa depan, oleh sebab itu maka sebenarnya Allah juga ikut belajar di dalam proses waktu mengenai peristiwa-peristiwa ke depan. Bagi mereka, pengetahuan Allah itu bertambah seiring dengan berjalannya waktu, sehingga akhirnya Ia mengalami perubahan sebagian di dalam diri-Nya seiring dengan berjalannya waktu.
      Dengan mengambil beberapa contoh kasus di dalam Alkitab, Open theisme menyanggah doktrin pra-pengetahuan Allah yang pasti akan masa depan di dalam pemikiran Allah. Misalnya nubuatan Allah bahwa Israel akan menjadi orang buangan di Mesir selama 400 tahun, merupakan suatu fakta (Kej 15:13), baginya bahwa kisah ini merupakan gambaran yang spektakuler dari kontrol kuasa Allah akan masa depan sebagai suatu ketetapan. Tetapi bagi mereka, bukti ini menjelaskan bahwa memang masa depan telah ditetapkan oleh Allah, namun bukanlah dipahami untuk keseluruhannya, ini hanya mengimplikasikan bahwa beberapa dari kejadian masa depan telah ditetapkan. Argumentasinya adalah, jika memang segala sesuatu telah ditetapkan Allah di dalam pra-pengetahuannya, maka konsep ini adalah suatu ketidak-mungkinan atau bahkan ketidak-koherenan pikiran. Baginya, suatu pandangan yang koheren yaitu bahwa masa depan (the future) adalah sebagiannya bersifat terbuka dan sebagiannya sudah ditetapkan. Kapan pun kita bisa membuat suatu keputusan, dan segala tindakan di dalam kebebasan untuk memperkirakan masa depan. Boyd, menegaskan satu proposisinya yang penting tentang pandangannya akan masa depan, “The future is partly up to as to decide and partly decide for as.” Masa depan adalah bergantung pada seseorang menurut keputusannya. Allah hanya tahu apa yang pernah terjadi dulu, tetapi tidak mengetahui secara rinci akan apa yang terjadi di masa akan datang. Pengetahuan Allah itu bersifat berkembang menurut proses. Richard Rice menambahkan gagasan ini, bahwa sebenarnya “Pengetahuan Allah akan dunia ini bersifat dinamis dan tidak statis, Tuhan datang ke dunia untuk mengetahui segala peristiwa-peristiwa. Maka bisa dikatakan bahwa Allah juga ikut belajar sesuatu dari apa yang sedang berlangsung. Posisi inilah yang disebut Rice sebagai “Open view of God”

2.2 Dasar Biblical Argumentasi God Foreknowledge Open Theisme
      Secara biblical, setidaknya ada tujuh argumentasi kaum open theisme sebagai dasar pemikirannya bahwa God’s foreknowledge bertentangan dengan konsep teistik yang men’generalisasi’ konsep mengenai pro-pengetahuan Allah:
      1. God Confronts the unexpected. Allah kadang-kadang berespon berupa kekagetan terhadap perilaku manusia yang tidak diharapkan terjadi. Bukti Alkitab misalnya Yesaya 5:1-7, Allah menggambarkan Israel sebagai kebun Anggur. Allah mengharapkan Israel akan membuahkan hasil yang manis, namun sebaliknya yang terjadi adalah buahnya ternyata asem. Berdasarkan bagian ini, Boyd bertanya: “Can a person expect something he is certain will never happen? Pasal ini mengimplikasikan bahwa Allah tidak tahu secara pasti akan masa depan Israel.
     2. God experiences regret. Alkitab kadang-kadang mengekspresikan penyesalan Allah terjadap keputusan yang telah diperbuat-Nya. Misalnya Kejadian 6:6, Allah menyesal telah menjadikan manusia di bumi ini. Boyd bertanya, “ Bagaimana Allah bisa menyesal jika Ia sudah mengetahui, sebelum Dia menciptakan manusia? Kasus lain seperti kisah penyesalan Allah terhadap Saul (1 Samuel 15:10, 35).
      3. God expresses frustration. Alkitab kadang-kadang menggambarkan Allah frustrasi terhadap manusia yang keras kepala menolak rencana-Nya di dalam kehidupan mereka, dan kemudian Allah mengharapkan mereka untuk bertobat kembali (Yesaya 63:10;Yehezkiel 22:30-31; Yohanes 3:16; Kis 13:30; 2 Petrus 3:9; dan lainnya).
      4. God speaks in conditional terms. Allah berbicara tentang masa depan dengan memakai istilah-istilah will dan will not, might atau might not. Misalnya dalam keluaran 4:1; 13:17 Yehezkiel 12:3, dll).
      5. God tests people “to know” their character. (Kejadian 22:12; Ulangan 8:21; Hakim-hakim 3:4)
      6. God change his mind. Misalnya dalam Keluaran 32:14. Dalam hal ini, Clark Pinnock menyatakan pendapat yang sama. Ia mengatakan bahwa Allah tidak berubah di dalam esensinya dan kesetiaan-Nya sepanjang waktu, tetapi di lain aspek Allah mengalami perubahan pikiran (his mind). Misalnya Allah berubah di dalam responnya terhadap peristiwa-peristiwa di dalam sejarah. Alkitab menyatakan bahwa melihat dengan jelas kelemahan manusia di bumi ini, Dia menyesal telah menjadikannya di bumi ini (kej. 6:5). Kitab Yunus mengatakan ketika Tuhan melihat pertobatan Niniweh, Allah mengubah pikiran-Nya dan tidak jadi menghukum mereka.
      7. Other passages showing divine flexibility, misalnya: 1 Tawarikh 21:15; 2 Raja-raja 20:1

      Berdasarkan penjelasan ini sebenarnya sudah jelas sekali dasar argumentasi dan ide-ide pemikiran Open Theisme dalam hal menolak konsep teisme klasik dalam hal God’s Foreknowledge. Setidaknya, Open theisme menyajikan argumentasinya dengan suatu dasar Alkitab yang bila dibaca secara sepintas tentunya akan mendukung ide pikiran yang dikemukakan. Namun, ide ini tentunya hal yang sangat berbeda bahkan bertentangan dengan doktrin yang selama ini dipegang dan diimani dalam teisme klasik. Maka perlu dilakukan suatu penelitian lebih cermat demi mencapai satu kebenaran yang sesungguhnya mengenai pergumulan ini. Berikut akan dipaparkan beberapa evaluasi kritis dan afirmasi injili tentang konsep foreknowledge Allah.

2.3 Suatu Evaluasi kritis
      Apakah Allah Mengetahui Segala sesuatu sebelumnya? Tentunya berdasarkan pemahaman klasik, kita setuju bahwa Allah sempurna di dalam pengetahuan-Nya. Tidak ada satu hal pun yang tersembunyi di hadapan Allah, sebab Ia yang menjadikan-Nya dan Ia mengenal dengan pasti segala ciptaan-Nya termasuk kejadian-kejadian yang ada di dalam dunia ini. Ia juga mengenal secara pasti akan peristiwa-peristiwa masa depan sebab Ia yang menjadikan-Nya sejak kekekalan dan Ia mengetahuinya juga sejak dari kekekalannya dengan sempurna.
     Jika diamati beberapa dasar argumentasi Open hteisme atas ketidaksetujua akan pandangan klasik mengenai God’s foreknowledge. Sebenarnya jika ditinjau secara teologis dengan prinsip hermeneutika yang benar, maka dasar argumentasi kaum open theisme sebenarnya tidak menjelaskan mengenai konsep Foreknowledge Allah. alasannya ialah: Pertama, Setiap bagian Alkitab yang menjadi dasar pemikiran biblical open theisme dipahaminya secara literalistik, yang sebenarnya bagian ayat itu harusnya dipahami secara antropomorfis dan juga ada bagian Alkitab yang bersifat fenomenologi. Kedua, pandangan open view Bold bertentangan dengan Alkitab. Dalam 1 Samuel 15:29; Bilangan 23:19 menyatakan bahwa Allah bukanlah manusia sehingga ia harus menyesal, berbohong, Ia tidak mengubah pikirann-Nya. Sertidaknya kedua bagian ini berkontradiksi dari penggambaran open view yang menyatakan Allah mengubah pikiran-Nya atau menyesal; ketiga, pandangan open view juga merusak pemahaman akan kemahatahuan Allah (God’s omnisciences). Bahkan pandangan ini kadang-kadang merujuk pada posisi “limited omniscience”. Keempat, open view membatasi kedaulatan Allah, ini merupakan suatu penyangkalan bahwa Allah adalah sungguh-sungguh Allah. R.C. Sproul berargumen, “Jika ada bagian dari ciptaan berada di luar kedaulatan Allah (di luar control Allah), maka ini menjelaskan bahwa Allah tidak berdaulat. Jika Allah tidak berdaulat, maka Allah bukanlah Allah.”. Sproul menyimpulkan, “jika kita menolak kedaulatan ilahi maka kita menjadi atheis. Dengan kata lain, Allah harus mengontrol segala sesuatu untuk bisa eksis menjadi Allah. Jika ada elemen mengalami perubahan di dalam dunia ini, Sproul berargumen bahwa itu akan menghancurkan sifat kedaulatan Allah. Jika Allah ada, maka perubahan tidak ada. Maka, Allah harus mengontrol perluasan setiap molekul. Jika adalah satu molekul saja di bumi ini berjalan di luar kendali Allah, maka kita tidak ada jaminan bahwa setiap janji Allah dapat terpenuhi. Kelima, pandangan open view merupakan suatu discomforting. Dalam pandangan open teisme tidak ada jaminan bahwa segala kejadian-kejadian di dalam kehidupan kita sudah “fit” di dalam rencana Allah.
      Maka, untuk mengevaluasi lebih lanjut konsep pemahaman Open Theisme, setidaknya perlu dianalisa berdasarkan prinsip penafsiran dan eksegetis yang tidak sewajarnya dari golongan Open theisme.
      Pertama-tama, Secara tipical, ayat Alkitab dimana mengemukakan bahwa Allah “find out” terhadap sesuatu, selalu berhubungan dengan keputusan konteks. Kaum open teisme, memakai Kejadian 3:9 untuk menguatkan argumentasinya. Allah bertanya pada Adam, “Dimana engkau”, ini “tidak hanya” berupa informasi, sebab jika hanya berupa permintaan atau pertanyaan saja, maka bagian ini akan menyatakan bahwa Allah tidak tahu apa yang sedang terjadi, tidak tahu masa depan. Lebih dari itu, di dalam bagian ayat ini sebenarnya konteksnya dan maksudnya ialah bahwa Allah sedang memulai keputusan pengadilannya secara “cross-examination”. Respon Adam akan “menegaskan dakwaan”, dan Allah akan meresponinya di dalam keadilan dan anugrah. Maka seharusnya semua bagian alkitab tertentu haruslah di lihat berdasarkan konteks tidak sekedar berupa informasi semata.
      Kedua, di dalam beberapa ayat Alkitab yang sepertinya menyatakan bahwa Allah mengubah pikirannya dalam meresponi keadaan tertentu. Ini harus dimengerti sebagai belaskasihan Allah. Belaskasihan Allah merupakan dasar dari rencana kekalnya, yang menggabungkan (incorpotates) responnya dalam waktu yang tepat pada peristiwa-peristiwa di dalam dunia ciptaan-nya. Hal ini tidak mengindikasikan ketidaktahuan Allah akan masa depan. Allah kadang-kadang membuat diri-Nya di dalam keadilanya secara kondisional dengan membatalkan keadilan-Nya oleh suatu pertobatan. Tetapi sesungguhnya Allah sesungguhnya dapat membuat keputusannya secara kondisional namun tidak berarti bahwa Ia tidak tahu segala sesuatu. Informasi dalam alkitab yang seperti itu tidak mendeklarasikan tujuan kekal Allah, jadi mereka secara kondisional tidak mengimplai bahwa Allah mengubah rencana kekalnya. Ketiga, di bagian alkitab lainnya, Allah kelihatannya mengakui ketidaktahuan-Nya akan peristiwa-peristiwa ke depan (Jer 3:6-7; 19-20; Yeremia 26:3; 36:3; 36:7 Yehezkiel 12:3). Jika masa depan sudah jelas di mata Tuhan, bagaimana bisa kita berkata bahwa Allah tidak mengetahui hati orang Israel? Di Yeremia 3, Allah berinteraksi dengan Israel sebagai istri yang tidak setia. Harus dipahami secara teliti bahwa ayat-ayat itu berurusan dengan relasi Allah dengan Israel di “dalam sejarah”, bukan dalam ketetapan kekal-Nya, dan bukan dalam foreknowledge-Nya yang kekal. Allah tentunya tidak kaget ketiga Israel tidak bertobat dari penyembahan berhala mereka, tetapi Allah melakukan hal itu pada Israel dengan tujuan agar mereka bisa bertobat.
       Keempat, Open theisme kadang-kadang memberi kesan, karena Allah berubah di dalam relasinya dengan ciptaannya di sepanjang waktu, maka masa depan tidak ketahui Allah secara pasti. Sebenarnya yang harus dimengerti di sini bahwa Allah menanggapi ciptaannya dalam “temporal omnispresence”. Namun perlu ditekankan disini bahwa responsif ilahi bukanlah bertentangan dengan pengetahuannya yang jelas akan masa depan. Allah menetapkan sebelumnya masa depan, dan rencana kekal-Nya meliputi segala tindakan dari ciptaan-Nya. Jadi Allah sempurna di dalam omniscience dan perhatiannya terhadap ciptaan-Nya. John Frame memuji ketekukan kaum open theis, dengan ucapan “Kita harus berterimakasih kepada mereka, karena mereka telah menunjukkan di dalam Alkitab tema tentang divine responsiveness. Namun seharusnya kita tidak sampai pada kesimpulan penyangkalan kedaulatan dan foreknowlege Allah.” Kelima, dalam alkitab, Allah kadang menyatakan sesuatu yang tidak masuk dalam akalnya (did not “enter my mind”). (Yeremia 7:31; 19:5;32:35), disini sebenarnya tidaklah menyatakan ketidaktahuan Allah, tetapi menggambarkan “standar-standar-Nya” bagi perilaku manusia (ini juga masih bersifat judicial point). Jika diperhatikan, Konteks dari Yeremia 19:5 dan 32:35 adalah sama “mind”, di dalam Ibraninya adalah heart di dalam alkitab dipahami sebagai tempat maksud (Neh 7:5). Allah berkata disini bahwa mengenai korban manusia yang mengerikan, yang sepenuhnya menggambarkan suatu yang bertentangan dengan standar kekudusan Allah. Maka secara implisit sebenarnya dalam bagian ayat ini, tidak berarti Allah tidak tahu atau pemahaman-Nya terbatas mengenai perilaku manusia melainkan di bagian ini, Allah bermaksud melarang mereka untuk melakukan tindakan penyembahan berhala di hadapan-Nya (Imamat 18:21). Maka, dengan demikian berdasarkan analisa dan evaluasi di atas, bisa dikatakan argumentasi penolakkan doktrin teisme-klasik mengenai God’s foreknowledge oleh Boyd, sebenarnya dibangun di atas pemahaman yang kurang tetat dan ketidak hati-hatian menafsirkan bagian Alkitab. Penafsirannya yang literalistik telah membawanya pada kesimpulan yang berseberangan dengan maksuh alkitab di dalam keseluruhanya.

2.4 Suatu Afirmasi Injili Terhadap Doktrin God’s Foreknowledge
     Allah adalah pribadi yang sempurna di dalam segala keberadaan-Nya. Pengetahuan sempurna, dan identik dengan esensi-Nya yang kekal, oleh sebab itu tidak ada sesuatu yang bersifat potensial dalam diri Allah, sebab Ia murni adanya. Tidak ada hal yang berubah di dalam pengetahuan Allah. Ia secara teliti mengontrol kekuasan di dunia ini. Allah yang mahatahu dengan sempurna, di dalam iman kita percaya bahwa “God is immutable, changeless, consistent, faithfull, dependable, the same yesterday, today, and forever in His existence, being, and attributes” . Menurut Stephen Charnock’ atribut ilahi yang kekal adalah satu dari khrakteristik inti dari Allah. Ia mengetahui segala sesuatu di atas segala sesuatu. Pemahaman Allah adalah sama seperti keberadaan-Nya. Masa depan adalah teratur secara sempurna di dalam pemikiran Allah dan itu sudah terjadi sejak dari kekekalannya.atau ini sering disebut sebagai “the classical view of devine foreknowledge”. Pengetahuan Allah terhadap segala hal merupakan pengetahuan sampai pada hal yang mendasar bahkan di dalam natur ciptaan-Nya pun Ia mengetahuai dengan pasti. Bagi Allah masa depan pun adalah sama seperti apa yang dulu dan sekarang dalam pikiran-Nya. Kemahatahuan Allah melampau segala waktu (timeless) dan kondisi apapun. keseluruhan pengetahuan Allah tidak ada gap-gap yang harus ditunggu perkembangannya ke depan sebelum Dia menggenapkan semuanya. Pengetahuan Alla adalah sempurna dan tidak ada kegagalan atau kesalahan di dalam pengetahuannya dan kedaulatan-Nya di masa depan. Yesaya 46:9-10, “…Akulah Allah dan tidak ada yang lain, Akulah Allah dan tidak ada yang seperti Aku, yang memberikan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana”.
     Oleh karena pengetahuan Allah sempurna, maka Ia tidak perlu belajar dan diajar. Ia tidak perlu diberi saran; tidak bisa dipengaruhi apapun di luar diri-Nya. Maka, tidak ada sesuatu yang diketahuinya lebih baik dari yang lain, melainkan semua itu diketahui dengan sama baiknya. Allah tidak pernah menemukan sesuatu yang baru, Ia tidak pernah merasa heran, takjub. Ia tidak bertanya-tanya atau meminta keterangan. Allah sudah ada dengan sendiri-Nya dan sudah cukup dengan sendirinya. Allah mengetahui segala sesuatu dan hal ini seharusnya membuat manusia ciptaan-Nya menjadi gemetar ketakutan oleh karena punya Allah yang seperti ini.
      Pauls Helm membela pandangan Agustinian-Calvinistik atau pandangan Reformed, yang mengajarkan bahwa Allah tahu segalanya dan pengetahuan Allah sempurna dan sudah terjadi di dalam kekekalan-Nya. Allah sudah menentukan sebelumnya segala apa yang akan terjadi kemudian di dalam pra-pengetahuan-Nya yang lengkap. Bagi Helm, apa yang Allah tetapkan secara pasti di dalam pra-pengetahuannya secara keseluruhannya juga mencakup kehendak bebas dari manusia. Jadi, tidak ada satupun keraguan bahwa sesunguhnya Pengetahuan Allah adalah sempurna dan lengkap. Tidak bertambah, Dia tidak perlu diajari, Dia tidak takjub, sebab Allah sudah menetapkan dan mengetahuinya sejak dari kekekalannya.

III. Kesimpulan
       Open teisme disebut keterbukaan pandangan yang merupakan sebuah posisi teologi yang berusaha membuktikan kegagalan doktrin teisme-klasik, khusunya berhubungan dengan God’s Foreknowledge. Open theisme mengklaim bahwa Allah memang sempurna di dalam pengetahuan-Nya, namun dalam artian bahwa ia tidak mengetahui secara pasti apa yang terjadi ke depan atau dengan kata lain, Allah tidak mengetahui sebelumnya secara pasti peristiwa-peristiwa yang akan terjadi kelak. Dasar argumentasi mereka dibangun berdasarkan penafsiran secara literal dan keluar konteks, mengenai peristiwa-peristiwa dalam alkitab yang sepertinya menunjukkan bahwa Allah mengalami perubahan pikiran, menyesal, seolah-olah tidak tahu menahu peristiwa yang sedang terjadi, Allah menunjukkan sifat frustrasi. Sebagai konsekuensi pikiran bahwa Allah tidak mengetahui secara pasti akan masa depan, maka Allah perlu belajar di dalam proses waktu, Allah harus mengisi pengetahuan-Nya dengan segala peristiwa-peristiwa yang terjadai pada masa akan datang.
        Pendapat ini tentunya tidaklah bisa diterima sebagai suatu hal yang argumentatif. Sebab dalam dasar pemahamannya sama sekali lemah dan tidaklah menunjukkan bahwa Allah tidak punya foreknowledge yang sempurna, sebab penafsiran mereka yang terlalu litarastik dan keluar dari konteks Alkitab. Sebagai afirmasinya Injili: Allah itu sempurna adanya, tidak berubah, sempurna dalam pengetahuan-Nya dan tidak ada sesuatu yang baru di dalam pikiran-Nya. Masa depan diketahui Allah secara pasti dan tidak ada yang terlewatkan satu hal pun.


DAFTAR PUSTAKA
Beckwith, F. Limited Omnisciences and the Test for a Prophet: A Brief Philosophical Analisis, dalam Jurnal Evangelical Theological Society 36, no. 3. 1993
Beilby James K. (ed.). Divine Foreknowledge. Illinois: InterVarsity Press, 2001
Boyd, Gregory A. God of the possible. Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 2001
--------------------. Satan and the Problem of Evil: developing a Warfare Theodicy. Downers Greve, Illinois: InterVarsity Press, 2001
-------------------. The Open Theism View: dalam buku Divine Foreknowledge. Illinois: InterVarsity Press, 2001
Charnock, Stephen Discourses upon the Existence and Attributes of God, vol. 2 (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1979
Frame, John M. Not Other God: A Response to Open Theism.  Phillipsburg: P & R ,2001
Geisler, Norman. Creating God in the Image of Man?: The New “open” view of God-Neotheism’s Dangerous Drift. Minneapolis, Minnesota: Bethany House Publishers, 1996
Hasker, William.  A Philosophical Perspective. Illinois: InterVarsity, 1994
Helm, Paul.  Eternal God. Oxford: Oxford Universuty Press, 1997
Morey, Robert A. Battle of the Gods. Massachustts: Crow Publishing, 1989
Pinnock, Clark. Systematic Teology. dalam The Opennes of God: A Biblical Challenge to the Traditionil Understanding of God. Illinois: InterVarsity, 1994
Sunders, John. Historical Considerations. Illinois: InterVarsity, 1994 
Sproul, R.C. Chosen by God. Wheaton, Illinois: Tyndale House, 1986
-------------. Not a Chance:The Mith of Chance in Modern Science and Cosmology. Grand Rapids, Michigan: Baker, 1994
Tozer, A.W. Mengenal Yang Maha Kudus. Bandung: Kalam Hidup, 1961

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESTU ORANGTUA DALAM PERNIKAHAN ANAK: HARUSKAH ?

           Pernikahan dalam kekristenan merupakan suatu hal yang sangat sakral dan dijunjung tinggi sebagai komitmen “dipersatukan” di hadapan Tuhan seumur hidup . Pernikahan haruslah penuh dengan keindahan, kekudusan dan kesatuan hati diantara kedua pribadi yang dipersatukan dalam ikatan pernikahan, oleh sebab itu Tuhan menginginkan agar pernikahan itu haruslah pernikahan yang sungguh-sungguh merupakan komitmen (bukan coba-coba/paksaan), dan harus dijalani seumur hidup. Hanya maut yang dapat memisahkan ikatan yang sudah dibentuk tersebut.             Namun, s eringkali di dalam proses untuk mengikatkan dua pribadi menjadi satu yang dilandasi oleh kasih dan komitmen tersebut, mengalami berbagai tantangan dan hambatan. Salah-satu hal yang menjadi pergumulan di dalam ikatan ini adalah ketiadaan “restu/persetujuan orangtua” terhadap ikatan bersatunya kedua hati dalam satu ikatan cinta. Seringkali ada banyak orangtua yang tidak mendukung komitmen pe

Konsep Penyembahan Dalam Roh dan Kebenaran

I.                    Pendahuluan Ibadah Kristiani tidaklah lepas dari suatu yang dinamakan penyembahan kepada Allah .  Bahkan setiap orang percaya seharusnya mempunyai gaya hidup sebagai “penyembah -penyembah ” bagi Allah. D an , karena penyembahan adalah gaya hidup orang percaya, maka memuliakan Allah pastilah menjadi tujuan penyembahan yang disadari, terus menerus, berarti, dan kekal. Dalam pelaksanaannya, penyembahan tidaklah dibatasi oleh masalah tempat, jenis, waktu atau hal apapun, sebab pada esensinya, Pribadi yang disembah adalah pribadi dalam Roh, yang tidak bisa batasi oleh apapun di luar diri-Nya. Kita bisa menyembah Allah dimanapun kita berada dan dalam segala aspek hidup dan pekerjaan kita sehari-hari. Oleh sebab itu, a papun yang kita lakukan mulai dengan kegiatan-kegiatan biasa seperti makan dan minum, haruslah dilakukan untuk kemuliaan Allah , itulah penyembahan sebagai gaya hidup . K emudian dalam penyembahan itu sendiri , Kesad

ANALISA PERKATAAN YESUS: “ANGKATAN INI TIDAK AKAN BERLALU SEBELUM SEMUANYA ITU TERJADI”

Nubuatan Tuhan Yesus dalam Markus 13:30; Mat 24:34; dan Lukas 21:32, mengenai “kapan” kedatangan-Nya untuk kedua kali merupakan nubuatan ayat yang kontroversial, sehingga menimbulkan beberapa penafsiran yang berbeda-beda tergantung pada pola pemahaman orang-orang yang menafsirkannya. Penafsiran terhadap nubuatan ini terus menjadi persoalan yang sering diperdebatkan dengan tujuan untuk mencapai kebenaran yang mendekati pada kebenaran yang alk i tabiah. Usaha ini juga bahkan sampai pada keekstriman pemahaman yang menafsirkan lebih jauh, dengan menghakimi bahwa 'Yesus telah berbuat satu kesalahan besar dalam memprediksi waktu parousia . Di satu sisi juga dengan jelas Yesus pernah mengatakan bahwa Dia sendiri, malaikat pun tidak tahu kapan waktunya Dia akan datang kembali, hanya Bapa yang tahu. Apakah sesungguhnya yang dimaksud oleh Yesus terhadap nubuatannya itu? ANALISA KONTEKS MARKUS 13:30; MATIUS 24:34; LUKAS 21:32 Nubuatan ini merupakan kh